REPUBLIKA.CO.ID, Persoalan kesehatan dan pendidikan juga menjadi faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan berkeluarga berencana. Keharusan melakukan azl karena khawatir terhadap keadaan perempuan yang sedang menyusui kalau hamil atau melahirkan anak lagi. Rasulullah, kata Al-Qaradhawi, selalu berusaha demi kesejahteraan umatnya.
Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan umatnya berbuat hal yang melahirkan maslahat dan tak mengizinkan sesuatu yang menimbulkan bahaya. Menurut Al-Qaradhawi, di masa kini sudah ada beragam alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kebaikannya. Hal inilah yang diharapkan oleh Rasulullah.
Beliau, ujar Al-Qaradhawi, ingin melindungi anak yang masih menyusu dari bahaya. Dengan dasar inilah ia mengatakan, jarak yang pantas antara dua anak adalah sekitar 30 atau 33 bulan bagi mereka yang berkeinginan menyempurnakan susuannya. Imam Ahmad menuturkan, semuanya tentu jika ada perkenan sang istri.
Sebab, istrilah yang lebih berhak atas anaknya. Istri juga mempunyai hak bersenang-senang. Sementara itu, Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui fatwa-fatwa tarjih menjelaskan, surah An-Nisa ayat 9 secara umum dapat menjadi motivasi keluarga berencana, tapi bukan jadi dasar langsung kebolehannya.
Ayat tersebut berbunyi, Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, Islam menganjurkan agar kehidupan anak-anak jangan sampai telantar sehingga menjadi tanggungan orang lain. Ayat tersebut mengingatkan agar orang tua selalu memikirkan kesejahteraan jasmani dan rohani anak-anaknya.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menjelaskan, dalam keadaan tertentu Islam tidak menghalangi pembatasan kelahiran melalui penggunaan obat pencegah kehamilan atau cara-cara lainnya. Pembatasan kelahiran diperbolehkan bagi laki-laki yang beranak banyak dan tak sanggup lagi menanggung biaya pendidikan anaknya dengan baik,” tambahnya.
Demikian pula jika keadaan istri sudah lemah, mudah hamil, serta suaminya dalam kondisi miskin. Dalam keadaan semacam ini, ujar Sabiq, diperbolehkan membatasi kelahiran. Sejumlah ulama menegaskan pembatasan kelahiran tak sekadar diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Imam Al-Ghazali membolehkan hal itu jika istri merasa khawatir akan rusak kecantikannya. Dalam kondisi tersebut, suami dan istri berhak memutuskan untuk melakukan pembatasan. Ada pula ulama yang mengatakan pembatasan bisa dilakukan tanpa syarat apa pun yang mendasarinya. Mereka berpegang pada hadis-hadis mengenai sikap Rasulullah yang mengizinkan para sahabat melakukan azl.