REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nashih Nashrullah
Penilaian hadis ala Albani, juga menuai kritik hingga kecaman pedas. Syekh Abdullah al-Harawi, bersikap keras menyikapi ‘sepak terjang’ Albani. Bahkan, lewat karyanya yang bertajuk Tabyin Dhalalat al-Albani al-Harawi mengkritik keras rekam jejak Albani dengan bahasa kesesatan-kesesatan Albani.
Al-Harawi menyebut tokoh yang berprofesi sebagai tukang jam itu, tidak berkompeten dan memiliki riwayat belajar hadis yang kuat. Malah, menurut al-Harawi, tak satupun hadis berikut sanad lengkap hingga perawi tertinggi yang dihafal oleh Albani.
Apalagi kajian hadis Albani diperoleh bukan melalui proses talaqqi atau berguru kepada ahli hadis, melainkan otodidak dengan membaca di perpustakaan. Dia pun menyebutkan beberapa kekeliruan dan kesimpulan prematur Albani dalam kajian hadis. Contohnya, pendapat Albani yang menafikan shalat sunat sebelum (qabliyah) shalat Jum’at.”Tidak ada rujukanna dalam sunah Rasulullah SAW,”tutur Albani.
Albani menjatuhkan vonis lemah atas deretan hadis terkait hal itu. Padahal, kata al-Harawi, masih banyak riwayat yang saling menguatkan. Ibnu Hajar misalnya, menyebutkan di Talkhis al-Habir riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah tentang shalat qabliyah Jum’at. Hadis tersebut merupakan satu di antara hadis dengan kualitas keshahihan yang paling kuat. Ini juga ditegaskan oleh al-Hafizh Waliyuddin al-Iraqi.
Al-Harawi pun menegaskan kesepakatan ulama perihal larangan menilai lemah hadis bagi ulama masa kini. Menukil pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani, karena bisa jadi ada kemungkinan keberadaan jalur jejaring periwayatan lain yang menguatkan atau bahkan akurat validitasnya. Bila sang perawi menemukan adanya keterputusan jejarang itu, cukuplah dia menyimpulkan bahwa jejaring tersebut tidak sempurna melalui jalur yang dia temukan.
Bukan lemah secara keseluruhan, termasuk redaksionalnya (matan). Sebab, bisa jadi hadis dengan riwayat lain yang menopangnya. Karena itu, hendaknya ulama masa kini tidak gegabah melemahkan suatu hadis.
Demikian pula dengan vonis palsu atas hadis tertentu. Imam as-Suyuthi menegaskan bila ulama sepakat larangan memvonis lemah suatu hadis oleh ulama masa kini, apalagi menyimpulkannya dengan palsu.
Bagaimanapun, kemungkinan adanya jalur periwayatan lain yang menguatkan, sangat terbuka. Kecuali jika memang tanda-tanda ataupun kriteria hadis palsu sudah tampak jelas, ketidaksinkronan redaksi hadis semisal hadis-hadis yang dipalsukan oleh para pendongeng, ataupun kontradiktif dengan akal dan konsensus ulama.