REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat minyak dan Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia dari Universitas Indonesia, Profesor Iwa Garniwa menilai, rencana PT Pertamina mengakuisisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), salah arah.
Iwa mengatakan, persoalan minyak dan gas di Indonesia lebih disebabkan tata kelola yang tidak baik. “Tata kelola migas itu bagaimana suplai bisa sampai kepada demand dan butuh infrastruktur. Akusisi itu tidak otomatis infrastruktur terbangun,” ujarnya dalam acara Tata Kelola Gas Bumi Sebagai Perwujudan Kedaulatan Energi di Indonesia yang dilaksanakan di Universitas Gajah Mada (UGM), akhir pekan lalu.
Menurut Iwa, karut marut tata kelola migas nasional disebabkan regulasi 'open access' dan 'unbundling'. Regulasi tersebut sangat menguntungkan para broker gas karena tidak perlu membangun infrastruktur.
Iwa berkata, ketimbang mencaplok PGN, Pertamina harus memperbaiki target lifting minyak yang selama ini meleset. Selama ini, kata Iwa, Pertamina selalu gagal dalam meningkatkan lifting minyak.
“Mereka tidak pernah menemukan ladang minyak baru. Mereka bekerja seperti broker, ladang minyak yang dimiliki dikerjasama operasikan,” ucapnya.
Karenanya, Iwa menyarankan Pertamina tetap fokus pada 'core business'-nya dengan meningkatkan lifting dan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM). Pertamina di bidang minyak, PGN dan Pertagas mengurus gas, dan PLN bertanggungjawab urusan listrik.
Sehingga menjadi fokus dan efisien. Jika Pertamina ngotot dan memaksa mengakusisi PGN, Iwa memastikan BUMN produsen migas tersebut akan memiliki organisasi yang semakin besar. "Akibatnnya Pertamina akan semakin tidak fokus dan tidak efesien," katanya mengakhiri.