REPUBLIKA.CO.ID, MONTREUX-- Pemerintah Suriah dan oposisi akhirnya bertemu untuk pertama kalinya di Montreux, Swiss, Rabu (22/1). Pihak yang bertikai siap membahas pembebasan tahanan, gencatan senjata dan bantuan kemanusian.
Namun keduanya masih belum menemukan kesepakatan mengenai nasib Presiden Bashar al-Assad. Rusia mengatakan, kedua pihak telah memulai pembicaraan. Meski pun ada kekhawatiran kebuntuan pembicaraan mengenai nasib Assad dapat menghentikan dorongan untuk terciptanya solusi politik.
Padahal perang sipil yang selama ini terjadi di Suriah telah menewaskan lebih dari 130 ribu orang. AS dan oposisi Suriah membuka konferensi dengan mengatakan, Assad kehilangan legitimasinya saat ia menyerang gerakan protes terhadapnya dan pemerintah.
Menurut Menlu AS John Kerry, tak mungkin pemimpin yang merespon brutal terhadap rakyatnya bisa mendapat kembali legitimasi untuk memerintah.
Menteri Penerangan Suriah Omran al Zoabi menanggapi pernyataan Kerry itu. "Tak akan ada transfer kekuasaan dan Presiden Assad akan tetap pada posisinya," ujar Zoabi.
Para pejabat Barat juga dibuat terkejut dengan nada agresif dari Menlu Suriah Walid al Muallem. Mereka khawatir negosiasi tak bisa dilanjutkan karena kondisi tersebut.
Namun mediator internasional Lakhdar Brahimi mengisyaratkan, kedua pihak siap untuk bergerak di luar retorika. "Kami memiliki beberapa indikasi yang cukup jelas bahwa kedua pihak bersedia membahas masalah akses pada orang-orang miskin, pembebasan tahanan dan gencatan senjata," kata Brahimi.
Sekjen PBB Ban Ki-moon juga mengatakan, telah mendesak pemerintah Suriah untuk melepaskan tahanan demi kembali membangun kepercayaan.