Jumat 24 Jan 2014 14:23 WIB

Gencatan Senjata Terbentuk di Sudan Selatan

Rep: Gita Amanda/ Red: Dewi Mardiani
Tempat pengungsi Sudan Selatan yang disediakan tim PBB untuk Sudan Selatan (UNAMISS).
Foto: Reuters
Tempat pengungsi Sudan Selatan yang disediakan tim PBB untuk Sudan Selatan (UNAMISS).

REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Pemerintah Sudan Selatan dan pemberontak akhirnya menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada Kamis (23/1). Gencatan senjata dilakukan untuk mengakhiri lima pekan pertempuran yang terus terjadi di negara paling muda itu.

Kesepakatan gencatan senjata ini merupakan kemajuan nyata pertama sejak gesekan terjadi di kedua belah pihak pada 15 Desember lalu. Namun, timbul pertanyaan apakah semua pejuang di Sudan Selatan akan mematuhi perjanjian tersebut.

Juru bicara militer Sudan Selatan, Kolonel Philip Aguer, memperingatkan kelompok pejuang, mungkin tak menginginkan perdamaian. Selama ini mantan Wakil Presiden, Riek Machar, menurutnya, telah menggunakan kekuatan ribuan pemuda bersenjata untuk melawan militer Sudan Selatan.

"Perang tak baik untuk siapa pun, terutama mereka yang berjuang untuk kekuasaan politik. Banyak warga sipil tak berdosa yang mati, sehingga perdamaian baik bagi rakyat Sudan Selatan," ujar Aguer.

Kepala tim negosiasi Sudan Selatan, Nhail Deng Nhail, juga mengungkapkan hal serupa. Pihaknya khawatir, banyaknya warga sipil yang mengangkat senjata di oposisi dianggap akan menyulitkan. Menurut Nhail, bisa jadi mereka tak mengikuti gencatan senjata karena tak memiliki disiplin militer.

Sementara itu Kepala Mediator dari The Intergovernmental Authority on Development (IGAD) yang memfasilitasi perundingan, Seyoum Mesfin, mengatakan krisis yang mencengkram Sudan Selatan adalah manifestasi belaka. Ini menurutnya, merupakan bagian dari tantangan yang dihadapi negara muda dan belum berpengalaman itu.

"Saya percaya tantangan pascaperang akan lebih besar dari perang itu sendiri. Proses ini akan tak terduga dan tak mulus," ujar Mesfin seperti dikutip dari Aljazeera, Jumat (24/1).

Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyambut baik kesepakatan itu. Secara teknis ia menyebut kesepakatan sebagai bagian dari penghentian permusuhan. Ia juga menggambarkan hal ini sebagai langkah penting pertama menuju perdamaian abadi. Dalam sebuah pernyataan, ia meminta para pemimpin Sudan Selatan untuk melaksanakan kesepakatan secara penuh dan memulai dialog politik untuk menyelesaikan konflik.

Ia mengatakan, para tahanan politik yang ditahan pemerintah Sudan Selatan juga harus berpartisipasi penuh. "Mereka yang bekerja untuk lebih damai, demokratis dan persatuan Sudan Selatan akan mendapat mitra yang kuat dari Amerika," kata Obama.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement