Sabtu 25 Jan 2014 23:17 WIB

Thailand, Mengapa Merah dan Kuning Terus Bentrok

Seorang demonstran anti-pemerintahan Thailand mengibarkan bendera di tengah semprotan water canon pasukan antihuru-hara pemerintah.
Foto: AP PHOTO
Seorang demonstran anti-pemerintahan Thailand mengibarkan bendera di tengah semprotan water canon pasukan antihuru-hara pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, Thailand tidak asing dengan gejolak politik. Sejak akhir monarki absolut pada 1932, negara itu telah mengalami 18 kudeta, 23 pemerintahan militer dan sembilan kali pemerintahan didominasi militer, menurut hitungan Human Right Watch.

Lalu pada 2014---juga seperti 2013, 2010, 2008 dan 2006, demonstran memenuhi jalanan Bangkok, menuntut pemerintah mundur. Saat kondisi kesehatan raja yang dicintai rakyat sedang rapuh, militer yang masih berkuasa--secara tak lazim, meski tak separah Mesir--dengan pemerintahan saat ini, belum kehilangan dukungan dari partai-partai utama, tapi stabilitas seperti masih jauh dari politik Thailand.

Pola aksi yang jelas dan gejolak terlihat sejak penggulingan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra delapan tahun lalu.

Pada November 2013, demonstran anti-pemerintah, turun ke jalanan ibu kota Thailand, dan pada Desember massa aksi berlipat ganda mencapai lebih dari 200.000. Demonstran--yang hingga kini masih berunjuk rasa di jalan-jalan Bangkok, meski dalam jumlah lebih kecil--menyebut perdana menteri Thailand sekarang, Yingluck Shinawatra, sekedar pion dari kakak kandungnya, Thaksin.

Sebuah rancangan amnest yang akan mengizinkan Thaksin kembali ke Thailand menyulut protes saat ini dan meski RUU tersebut telah disingkirkan, protes terhadap pemerintahan Yingluck tak bisa ditolak dan terus berlanjut.

Thaksin yang berada di pengasingan atas kemauannya sendiri sejak 2006 ketika ia digulingkan dalam kudeta militer tanpa kekerasan, tetap menjadi figur menentukan di politik Thailand.

Terpilih pada 2001, Thaksin, miliader telekomunikasi, meluncurkan serangkaian kebijakan populer di kalangan miskin terpencil Thailand termasuk skema bantuan keuangan mikro dan menyubsidi bahan bakar. Tak heran, Thaksin dengan cepat menjadi kecintaan banyak orang miskin kawasan Terpencil Thailand, terutama yang banyak tinggal di bagian utara dan timur laut negara itu.

Hasilnya, kekuatan politik Thailand begeser dari kota-kota dan selatan menuju bagian utara dan timur laut negara. Pendukung Thaksin in kemudian dikenal sebagai para kemeja merah.

Penentang Thaksin, yang mengenakan kemeja kuning, menyatakan pemerintahan Thaksin selama lima tahun ditandai dengan nepotisme, korupsi, dan penciptaan keretakan kebangsaan dalam negara. Pada 2006, menyusul protes masif di jalan-jalan dari kemeja kuning dan pemilu yang memenangkan partai Thaksin, militer melakukan kudeta, menyeting panggung selama hampir satu dekade, yang kadang diwarnai darah, dalam perebutan kekuasaan

Balik sejenak ke 2013, saat menghadapi protes masif di jalan-jalan, berpusat terutama kawasan kelas menengah Bangkok, Yingluck, seperti ditulis Aljazeera, menyerukan pemilu dipercepat menjadi 2 Februari, upaya yang dipandang oposisi sebagai taktik Yingluck menjaga mandat penyelenggaran pemilu namun menggembosi gerakan protes.

Partai Pheu Thai yang mengusung Yingluck, berada di atas angin dan sangat difavoritkan memenangi pemilu enam kali berturut-turut, tak lepas dari popularitas Thaksin yang belum lekang di mata kaum miskin Thailand.

Para pemimpin protes memboikot pemilu yang tak lama lagi berlangsung dan menuntut tak lebih dari penyingkiran rezim Thaksin. Mereka juga menyerukan pembentukan 'dewan rakyat' yang tak dipilih pemilu untuk menggantikan pemerintah saat ini yang notabene dipilih secara demokratis.

Para pengunjuk rasa antipemerintah, menurut pakar, ingin menciptakan situasi itu sehingga ketika ada campur tangan militer atau hukum akan membuat ketegangan kian meningkat.

Menjelang pemilu Februari, Yingluck menetapkan situasi darurat, tepatnya pada 21 Januari lalu. Dekrit itu otomatis memberi pemerintah kewenangan lebih luas untuk mengatasi demonstran, termasuk kemampuan menyensor media, menetapkan jam malam, menahan orang-orang yang dicurigai tanpa harus mendapat surat izin pengadilan dan menyatakan bagian-bagian tertentu ibu kota yang terlarang untuk demonstran.

Dekrit semacam itu pernah dikeluarkan juga oleh pemerintahan berbeda di Thailand pada 2010, dalam upaya menghentikan protes oleh kaus merah pro-Thaksin. Tak lama setelah dekrit 2010 keluar, pasukan keamanan pemerintah melakukan tindakan, kerap dengan kekerasan terhadap demonstran, menyebabkan 100 orang tewas.

Pemerintah Yingluck saat ini memang berjanji menghindari kekerasan yang tak diperlukan, namun penetapan itu menyiratkan opsi sikap lebih agresif terhadap demonstran lebih terbuka dan meningkatkan kemungkinan kekerasan.

Sejauh ini, militer masih duduk di sisi jalan, setidaknya yang terlihat oleh publik. Namun tekanan kian menguat bagi mereka untuk mengakhiri krisis politik, yang mengancam orang asing menjauh dari negara dengan salah satu industri pariwisata terkuat di dunia. Perlu diketahui pada 2013, Bangkok menjadi salah satu kota yang paling dikunjungi secara global.

Panglima militer Thailand, Jenderal Prayuth Chan-ocha, kepada reporter pada 22 Januari lalu berkata, "Bila situasi kian meningkat ke skala yang tidak bisa lagi diatasi, militer tak memiliki pilihan lain kecuali mengatasinya,"

Pernyataan 'bersayap' itu terdengar akrab di Thailand di mana kudeta terjadi rata-rata setiap empat-setengah tahun sekali. Dalam negara yang terhitung liberal, hasil kemenangan lewat pemilu demokratis  di Thailand ternyata masih sulit untuk diterima.

Bila kudeta terjadi, dang Yingluck digulingkan, pendukung Shinawatra, mayoritas dari bagian negara yang masih miskin dan terpencil, diprediksi tak akan diam dan menyalurkan kemarahannya--kemungkinan besar, juga di Bangkok. Maka siklus protes dan gejolak akan terus berlanjut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement