REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ada indikasi pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan judical review UU Nomor 42 Tahun 2008 agar penyelenggaraan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) sengaja ditunda.
Putusan yang sudah ada sejak Maret tahun lalu namun baru dibacakan akhir Januari ini membuat ragam tudingan menyasar MK.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun bahkan memandang penundaan pembacan putusan itu sangat berbau politis. Sebab, dengan pembacaan yang dekat dengan momen Pemilu 2014 membuat pesta demokrasi tahun ini tak bisa dilaksanakan serentak.
Meksipun, pada dasarnya dari putusan MK Pemilu dapat dilakukan serentak. Namun karena pembacaan terlambat Pemilu 2014 serentak tak dapat diwujudkan.
"Ini ada pelanggaran kode etik serius dan telah menjadi skandal yang perlu diluruskan," ujar Refly dalam sebuah diskusi politik di Jakarta, Sabtu (25/1).
Refly mengatakan, pemenuhan hak konstitusional warga menjadi tertunda hanya karena pembacaan yang terlambat. Padahal, isi dari putusan yang mengabulkan diadakannya Pileg dan Pilpres serentak amat menentukan nasib bangsa. "Hakim MK sebaiknya menjelaskan alasannya agar hati publik dingin," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kuasa Hukum Pemohon Uji Materi UU ini AH Wakil Kamal memang merasa ada kejanggalan di balik pembacaa putusan yang telat itu.
Dia mengatakan, pada hakikatnya kajian akademik yang dilakukan memang Pemilu harus dilaksanakan serentak sejak lama. Sehingga, terlambatnya pembacaan putusan ini tentu saja mencederai nilai demokrasi yang rakyat perjuangkan.
"Meski puas (karena uji materi dikabulkan) dan bisa dilaksanakan 2019, tapi kami akan pertimbangkan (untuk melaporkan) sejauh ini kami akan hormati putusan pengadilan (MK)," ujarnya.