REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu penyebab amblasnya jalan Tol Cipularang kilometer 72, dinilai karena tak memperhatikan aspek filosofis.
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Sutijuwarno membandingkan saat era Belanda, jalan Puncak dibuat berkelok-kelok, bukan memotong bukit seperti di Cipularang.
"Kita jarang melihat jalan di Puncak longsor," ujarnya kepada ROL, Senin (27/1).
Ia berkata, sekarang teknologi yang digunakan dalam membangun jalan tidak memperhatikan faktor keseimbangan alam. Jika harus melewati bukit, ia menyarankan lebih baik dibuat terowongan.
Menurutnya, konstruksi terowongan lebih kuat dan tidak merusak keseimbangan alam. Hal ini juga diterapkan dalam pembangunan jalur kereta di era Belanda. "Kita senangnya jalan pintas. Keruk bukit lalu jual tanahnya," kata Djoko.
Di tempat-tempat yang jarang dilewati kemudian dibangun jalan, maka ada penambahan beban. Terlebih dulunya jalan tersebut dasar bukit yang dipotong. Sehingga harus benar dan detail perhitungannya.
Mengingat tanah yang dilewati jalan harus menahan beban baru dalam jangka waktu lama. "Harus melibatkan juga aspek geologi. Buat penelitian tak masalah meski mahal," ujarnya menyarankan.
Di sisi lain, permasalahan klasik pembangunan jalan di tanah air adalah penurunan spesifikasi. Djoko yang pernah menjadi pengawas proyek jalan mengakui banyak permainan antara pengawas dan kontraktor.
Seharusnya, kata Djoko, dibuat aturan ketat hingga ke level bawah. "Pengawas Jepang misalnya tidak mau makan siang bareng kontraktor. Takutnya nanti mempengaruhi. Budaya itu yang harus ditumbuhkan," terangnya.
Untuk Tol Cipularang, sebenarnya kualitas jalan masih lebih baik dari jalan biasa. Namun masih kalah jauh dengan Tol Jagorawi. "Jagorawi paling bagus. Seharusnya semua tol menirunya. Jarang ada lubang meski mahal. Tapi untuk masa depan tak masalah."