REPUBLIKA.CO.ID AUSTRALIA -- Kelompok pro monarki di Australia, Monarchists League, menuding rencana mengadakan referendum untuk mengakui hak-hak Aborigin dalam konstitusi pasti akan kacau dan memicu kekerasan.
Kelompok tersebut memperingatkan, ada kemungkinan bakal terjadi agresi oleh mereka yang 'tidak suka' dengan pendudukan orang kulit putih. Baru beberapa hari lalu terjadi aksi vandalisme terhadap bangunan bersejarah Captain Cook's Cottage di Melbourne.
"Aksi corat-coret di Rumah Kapten Cook di Melbourne oleh golongan yang anti-Hari Australia akan menyebabkan banyak orang menolak ide tentang referendum, dan kini hampir pasti kekerasan akan terjadi bersama referendum itu," kata Ketua Nasional Australian Monarchists League, Philip Benwell.
Komentar itu segera mendapat respon dari Senior Australian of the Year 2014, Fred Chaney, yang adalah salah satu pendiri Reconciliation Australia.
Fred Chaney mengatakan Monarchists League menebar prasangka dengan mengatakan bahwa suatu referendum untuk mengakui bumiputra Aborigin dalam konstitusi hampir pasti akan dibarengi dengan kekerasan. "Sayang sekali ada yang mengobarkan pertentangan dan prasangka, dan saya mendorong semua orang Australia untuk membahas hal ini dengan cara yang dikemukakan oleh Adam Goodes (Australian of the Year)," kata Chaney kepada ABC, baru-baru ini.
"Referendum 1967 adalah untuk pertama kalinya rakyat Australia bersatu untuk paling tidak memperbaiki yang salah di masa lalu. Langkah-langkah sekarang ini menuju rekonsiliasi dengan bumiputra Aborigin ditujukan pada persatuan nasional, dan komentar bahwa hal itu akan dibarengi kekerasan sama sekali tidak masuk akal," kata Chaney.
Benwell mengatakan, Australian Monarchists League tidak menentang rekonsiliasi, tapi tidak akan mendukung perubahan yang akan 'merusak' konstitusi.
"Memang kedatangan orang kulit putih bukannya tanpa problem, tapi seandainya Inggris tidak menduduki negeri ini dan membawa serta konsep tertib hukum, Australia tidak akan sehebat sekarang ini," katanya.
Mantan menteri pemerintah Buruh itu berjanji akan menyelenggarakan referendum untuk mengakui kaum Aborigin dalam konstitusi, tapi memutuskan untuk menundanya, dengan alasan perlu menggalang dukungan publik bagi perubahan itu.
Perdana Menteri Tony Abbott melukiskan perubahan konstitusional sebagai suatu perjuangan nasional yang penting, dan berjanji akan mengajukan suatu draft amandemen sebelum September.