REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Tambang Emas Indonesia (ATEI), Natsir Mansyur mempertanyakan pemberlakuan bea keluar (BK) progresif terhadap ekspor bahan mineral.
Menurut Natsir, penetapan BK yang tertuang dalam PMK Nomor 6/PMK.011/2014 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea dan Tarif Bea Keluar tersebut tidak melibatkan pelaku usaha tambang.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto menanggapinya dengan normatif. "Pada dasarnya, kita senantiasa terbuka atas masukan-masukan terhadap kebijakan-kebijakan yang diterapkan," ujar Andin melalui pesan singkat kepada ROL, Selasa (28/1).
Natsir menjelaskan, pada dasarnya, ATEI mengapresiasi keberadaan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara serta PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Demikian juga dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
"Namun, penetapan BK oleh Menkeu bertolak belakang dengan semangat hilirisasi karena membawa dampak yang negatif bagi kelangsungan usaha sektor pertambangan. Bisnis mineral bisa rusak, PHK terjadi dan kredit macet perbankan timbul. Jangan karena setoran APBN kurang, tapi malah membuat kebijakan yang menyusahkan pengusaha," kata Natsir.