REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industri prioritas nasional menjelang penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Salah satu aspek yang disoroti lembaga think thank independen ini adalah minimnya keterhubungan (linkage) antara industri mikro-kecil dengan industri sedang-besar.
Dibutuhkan strategi yang komprehensif dan sinergi antar kementerian/lembaga terkait untuk meningkatkan daya saing industri. Demikian benang merah CORE Indonesia Media Discussion di SME Tower, Jakarta, Selasa (28/1).
Dalam diskusi tersebut Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini menjelaskan, asal muasal industri prioritas nasional adalah Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN). Menurutnya, dalam beleid ini, dipilih industri prioritas nasional yang akan dikembangkan selama lima tahun untuk kemudian dikaji ulang.
Apakah pengembangannya diteruskan atau dihentikan untuk kemudian digantikan dengan industri lain. Industri-industri itu diantaranya industri mikro-kecil dan sedang-besar, industri padat karya, industri barang modal dan industri dengan pertumbuhan tinggi. "Setelah hampir lima tahun, apakah kebijakan-kebijakan yang ada mendukung industri prioritas nasional?," ujar Hendri.
"Kalau sudah ada kebijakan yang mendukung, apa hasilnya sekarang sudah lebih baik? Apa semakin menjadi tulang punggung industri? Kok kenyataannya, industri prioritas nasional malah tidak didukung. Bagaimana dengan link-age (keterhubungan) antara industri mikro-kecil dengan industri sedang-besar? Ini yang ingin kita sampaikan ke pengambil kebijakan. Jadi, selama ini baru menetapkan (industri prioritas nasional) saja, tapi konsekuensinya tidak diambil," kata Hendri memaparkan.
Hendri menjelaskan, pembangunan industri, termasuk keterhubungan antara industri mikro-kecil dan industri sedang-besar, harus diterjemahkan ke dalam regulasi. Akan tetapi, keterkaitan antara RUU Perindustrian yang baru disahkan dengan RUU Perdagangan tidak terlihat.
Seharusnya dari awal, ujar Hendri, kedua rancangan beleid itu menjadi turunan strategi industrialisasi nasional. "Sekarang tidak. RUU Industri berjalan sendiri, RUU Perdagangan berjalan sendiri," ujar Hendri.
"Di RUU Perindustrian, tidak ada pasal yang menghubungkan kedua industri mikro-kecil dan sedang-besar," tambah Hendri.
Selain dari sisi regulasi, Hendri menyoroti majalnya pengembangan keterhubungan antara industri mikro-kecil dengan industri sedang-besar, dari sisi kelembagaan. Ambil contoh, untuk industri mikro-kecil, terdapat kurang lebih 25 kementerian/lembaga yang terlibat. "Perencanaannya tentu masing-masing K/L. Bagaimana bisa ketemu? sasaran dan pemahamannya tentu berbeda. Itu dari kelembagaan," ujar Hendri.