REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab
Sebagai Negara agraris, sungguh ironi, ketahanan pangan kita ternyata sangat rapuh. Sebagian besar bahan pangan untuk memenuhi sembako (sembilan bahan pokok) rakyat kita diimpor dari luar negeri.
Di musim hujan seperti sekarang ini, akibat terhambatnya transportasi dan distribusi, harga-harga bahan pangan melambung tinggi.
Rakyat tidak hanya menghadapi musibah banjir, letusan gunung, gempat bumi, tanah longsor, dan sebagainya, melainkan juga mengkhawatirkan kelangkaan bahan pangan.
Kondisi tersebut diperparah lagi dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, sehingga harga-harga pangan menjadi sangat mahal.
Sebagian besar rakyat menjerit karena tidak dapat membeli kebutuhan mereka. Kebijakan pertanian dan tata niaga pangan yang ditetapkan pemerintah juga cenderung kurang berpihak kepada petani.
Rakyat dibiasakan untuk menikmati hasil panen tanpa dilatih untuk menanam, mengembangkan, dan meningkatkan produk pertanian melalui implementasi riset unggulan dan budidaya pertanian, holtikultura, dan peternakan yang canggih.
Ketahanan pangan tidak hanya terkait dengan mindset kebijakan pemerintah yang hobi impor, melainkan juga tidak dapat dipisahkan dari manajemen ketahanan pangan itu sendiri.
Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan pentingnya manajemen ketahanan pangan melalui kisah Nabi Yusuf As.
Alkisah, seorang raja bermimpi: "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka! Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi." (QS. Yusuf: 43).
Sang raja kemudian meminta Nabi Yusuf untuk menakwilkan mimpinya tersebut. “Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (QS. Yusuf/12: 46)
Nabi Yusuf kemudian menerangkan takwil mimpi tersebut. “Dia (Yusuf) berkata, "Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS Yusuf: 47)
Menurut penulis tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibn ‘Asyur, manajemen katahanan pangan ala Nabi Yusuf As tersebut perlu diwujudkan dengan memahami simbol-simbol ketahanan pangan.
Sapi yang gemuk merupakan simbol orientasi produksi pangan dengan mengoptimalkan produksi lahan pertanian. Tangkai gandum yang hijau adalah simbol tata pembenihan, penyuburan dan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan pokok setiap masa tanam.
Sapi yang kurus melambangkan pentingnya mengantisipasi masa paceklik dan krisis pangan di masa mendatang.
Dari kisah tersebut dapat diambil beberapa pelajaran berharga. Pertama, pentingnya mensyukuri dan mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya alam.
Tidak semestinya potensi kekayaan alam ditelantarkan, melainkan harus dihidupkan dan dikelola sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan nilai tambah ketahanan pangan, kemakmuran, dan keberkahan bagi semua.
Kedua, etos bercocok tanam, memproduksi pangan, dan menabung hasil panen (berperilaku hemat dan tidak konsumtif) harus dikembangkan.
Manajemen ketahanan pangan menghendaki perencanaan pembenihan, pengolahan lahan, penanaman, perawatan, dan pemanenan produk pangan yang melimpah, sehingga hasil penenannya itu surplus dan sebagiannya dapat disimpan untuk mencukupi kebutuhan masa-masa mendatang, terutama di masa paceklik.
Ketiga, prinsip swasembada pangan dalam jangka panjang, minimal tujuh tahun ke depan, perlu menjadi komitmen bagi semua, terutama pemimpin bangsa, agar ketahanan nasional tidak mudah goyah dan gonjang-ganjing, hanya karena nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi.
Jika kita memiliki manajemen ketahanan pangan yang solid, niscaya rakyat tidak akan mengalami kelangkaan bahan pangan dan mahalnya harga-harga sembako.
Keempat, manajemen ketahanan pangan harus berorientasi futuristik; dibarengi dengan etos menyimpan atau menabung dan mengelola stok pangan yang memadai untuk jangka panjang.
Selain itu, manajemen ketahanan pangan juga menghendaki pemimpin bangsa ini untuk tidak gampang menggadaikan aset dan kekayaan bangsa kepada pihak asing, dan agar tidak hobi impor sembako sebelum mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini. Wallahu a’lam bish-shawab!