REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Dr Murray Brilliant, direktur Sentra Genetika Manusia di Klinik Marshfield, Amerika Serikat, menyatakan bahwa di Australia perbandingan terjadi kondisi albinisme adalah sekitar 1:17 ribu. Ada populasi tertentu di dunia, seperti penduduk bumiputera Kuna di Panama di mana perbandingannya lebih tinggi.
Menurut Melanie Boulton, yang anaknya mengalami albinisme, sebutan 'albino' sebenarnya kurang sopan dan cenderung merendahkan. Sarena kata albino menunjuk pada kondisinya dan bukan orang yang mengalami kondisi tersebut.
"Tidak benar pula bahwa orang dengan albinisme memiliki mata merah seperti kelinci," ungkap Mike McGowan, direktur eksekutif Organisasi Albinisme dan Hypopigmentasi di Amerika Serikat, bellum lama ini. Organisasi ini sering mengkritik gambaran di media tentang orang dengan albinisme. Contohnya, dalam film The Da Vinci Code yang dirilis tahun 2006, tokoh jahatnya digambarkan mengalami albinisme.
Karissa Harp dan suaminya tidak hidup dengan albinisme, tapi memiliki dua anak dengan albinisme. Saat ini, mereka tengah berusaha agar anak-anak mereka tidak mengalami rendah diri karena kondisi tersebut, sekaligus menjaga kondisi fisik mereka, seperti memastikan agar mereka lebih sering memakai tabir surya.
Menurut Murray Brilliant, yang meneliti tentang genetika di Tanzania, Afrika, ada banyak mitos tentang albinisme di negara tersebut.
"Situasi di Tanzania cukup buruk bagi mereka yang mengalami albinisme. Ada kepercayaan tentang sihir tertentu dan bahwa bagian tubuh bisa jadi obat atau bahan ramuan, terutama bagian tubuh orang dengan albinisme," ceritanya, seperti dikutip Abc Australia Network, baru-baru ini.
Hingga, banyak orang dengan albinisme yang dibunuh untuk bagian tubuh mereka, bahkan, terkadang disembelih di hadapan orang tua mereka, cerita Brilliant. Ini juga terjadi di banyak negara sub-sahara lain di Afrika.
Di negara-negara berkembang di mana penduduknya kebanyakan berkulit gelap, mereka dengan albinisme seringkali kesulitan mendapat tabir surya yang layak. Untuk menyikapi ini, dua perempuan asal Australia: Anette Ferguson, yang hidup dengan albinisme, dan Helene Johanson, seorang peneliti bidang genetika, mendirikan Proyek Albinisme Pasifik.
Johanson mengaku pertama merasa kasihan melihat ada perempuan dengan albinisme di Tuvalu yang harus berjalan dengan mata tertutup dan tangan meraba-raba agar tidak menabrak sesuatu.
Menurut Johanson, jumlah orang dengan albinisme di Tuvalu ternyata cukup banyak yaitu satu banding 669. Dan, menurut penelitiannya, ternyata ada jenis albinisme khusus yang berkembang di Polinesia.