Selasa 04 Feb 2014 16:29 WIB

RUU Perdagangan Perkuat Peran Negara

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Bahan Pangan
Foto: ROL/Muda Saleh
Bahan Pangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VI DPR akan membawa Rancangan Undang-undang Perdagangan ke Rapat Paripurna DPR 11 Februari 2014. Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto mengatakan perumusan beleid pengganti UU Penyaluran Perusahaan 1934 (Bedrijsreglementerings Ordonnatie 1934) atau dikenal dengan BRO 1934, telah rampung di tataran komisi. 

Demikian disampaikan disampaikan Airlangga kepada wartawan saat ditemui di sela-sela acara 'Launch of The Corporate Governance Road Map and Corporate Governance Manual' di Hotel Shangri-La, Jakarta, Selasa (4/2). Airlangga menjelaskan, salah satu kunci utama dalam RUU ini adalah pengklasifikasian barang menjadi barang pokok dan barang penting.

Barang penting adalah, barang yang terkait erat dengan pangan. Oleh karena itu, Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Barat V (Kabupaten Bogor) ini menyebut terdapat regulasi yang memerintahkan pemerintah untuk menyediakan anggaran kepada lembaga yang ditunjuk untuk melakukan stabilisasi harga barang pangan.

"Selama ini kan price stabilization hanya menjual kertas.  Pemerintah menugaskan Bulog, misalnya untuk stabilisasi harga kedelai. Tetapi, Bulog tidak diberikan working capital (modal kerja). Bagaimana Bulog bisa melakukan stabilisasi harga?," kata Airlangga. Kemudian kategori berikutnya adalah barang penting untuk pembangunan.

Termasuk di dalamnya adalah semen, pupuk, gas dan bahan bakar minyak (BBM). "Itu pemerintah bisa melakukan stabilisasi dan intervensi di situ," kata Politisi Partai Golongan Karya ini. "Jadi, dalam UU baru ini, peran negara itu penting sekali dan negara itu hadir. Ini berbeda dengan draf yang diberikan pemerintah," ujar Airlangga.

RUU Perdagangan, menurut Airlangga, juga mengatur perjanjian internasional. Terdapat tiga hal penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, harus menyangkut kepentingan nasional atau hajat hidup orang banyak. Kedua, terkait dampak langsung atau tidak langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ketiga, implementasi hukumnya perlu ratifikasi DPR. Selain itu, kata Airlangga, beleid ini juga memerintahkan pembentukan Komisi Perdagangan Nasional. Di dalamnya, para menteri harus duduk bersama untuk membahas pengamanan dan perlindungan pasar dalam negeri serta mengisi posisi runding pemerintah. 

"Dengan begitu, tidak bisa lagi ego sektoral. Seperti kejadian sekarang (kisruh impor beras asal Vietnam), Kementerian Pertanian menyalahkan Kementerian Perdagangan. Ini kan pemerintah, jangan mempertontonkan keharmonisan di depan publik.  Nah, dengan UU Perdagangan, tidak bisa terjadi begitu karena saat posisi runding, semua kementerian/lembaga terlibat," papar Airlangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement