REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya kasus impor beras dengan izin khusus dinilai menunjukkan kuatnya kepentingan ekonomi-politik. Apalagi menjelang berlangsungnya Pemilu 2014, pengumpulan uang sebanyak-banyaknya ditenggarai menjadi target politisi untuk memenangkan pemilu, termasuk mengakali peraturan impor.
"Disalahgunakannya izin impor beras khusus bisa jadi merupakan alat bagi kelompok tertentu untuk mengumpulkan modal dalam menghadapi perhelatan politik. Maklum nilai ekonomi dalam beras impor sangat tinggi apalagi terdapat selisih harga di level nasional," ungkap Manager Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, Selasa (4/2).
Kejadian tersebut ternyata bukan yang pertama. Menurut catatan KRKP, sebelumnya terjadi pada 2007 dan 2012, masing-masing ada 185 ribu dan 40 ribu ton beras diimpor untuk keperluan khusus dan merembes ke pasar umum.
Pada akhir 2013 pun juga sedikitnya 156 ribu ton beras impor masuk dan lagi-lagi merembes ke pasar umum. ''Kejadian berulang ini tentu bukan sebuah kecelakaan atau ketidaksengajaan. Patut dicurigai bahwa terjadi kecurangan yang dilakukan para pedagang dan terjadi setiap tahun," kata dia.
Dia menilai, terungkapnya kasus ini makin menampakan buruknya kinerja pemerintahan dalam mewujudkan amanat Undang-Undang Pangan. “Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 jelas mengamanatkan kedaulatan pangan. Masuknya beras dari luar jelas mencederai semangat itu. Padahal produksi dalam negeri masih cukup,” Ujar Said.
Menjadi tidak masuk logika, lanjut dia, ketika pemerintah baru saja mengumumkan surplus produksi padi. Produksi padi nasional pada 2013 mengalami kenaikan sebesar 2,6 persen dari sebelumnya 96,06 juta ton menjadi 70,87 juta ton. Dengan produksi sebanyak itu jika dikonversi dalam beras menjadi 38,84 juta ton. "Maka terdapat surplus 5,4 juta ton karena kebutuhan nasional hanya sebesar 34,42 juta ton," ungkapnya.