Rabu 05 Feb 2014 18:09 WIB

UU Pangan Tak Melindungi Petani Kecil

Seorang petani menyemprotkan obat antipenyakit ke tanaman cabe rawitnya di Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa (4/2).  (Republika/Edi Yusuf)
Seorang petani menyemprotkan obat antipenyakit ke tanaman cabe rawitnya di Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa (4/2). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli ketahanan pangan Khudori, mengatakan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan tidak ada pasal yang melindungi petani kecil dari persaingan dengan korporasi.

Hal ini diungkapkan Khudori saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Pangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (5/2).

Dia juga mengatakan kedaulatan pangan yang menjadi roh UU Pangan juga terancam sulit untuk dilaksanakan karena sebagian besar hanya mengatur operasionalisasi ketahanan pangan dengan tiga elemen utama yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan komsumsi pangan.

Selain itu, ia melanjutkan, tak ada pasal yang mengatur akses dan kontrol sumber daya produksi penting (tanah, air, benih, teknologi).

Dia menegaskan dari 154 pasal itu sebagian besar mengatur domain pemerintah dan tidak ada keharusan melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pangan. "Pasal 109, pemerintah mengangkat pengawas, tetapi sama sekali tidak ada keharusan melibatkan masyarakat," katanya.

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat ini mengatakan tegaknya kedaulatan pangan membutuhkan kelembagaan organisasi yang powerfull sebab, persoalan pangan multidimensi dan multisektoral yang memerlukan lembaga dengan kewenangan politik yang memadai.

Dia menilai bahwa lembaga pangan tidak berbentuk lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) yang akan dibentuk tiga tahun sejak UU Pangan disahkan ini, tetapi lembaga super body.

"Cakupan lembaga pangan sangat luas mulai menyusun kebijakan pangan, koordinasi, integrasi, dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan pangan. Hingga ketersediaan, distribusi, harga, komsumsi, keamanan, penanganan kerawanan pangan dan gizi. Ini hanya mungkin dan bisa diurus oleh lembaga super body, bukan LPNK," kata Khudori.

Dia juga mengatakan pasal-pasal lembaga pangan dalam UU Pangan juga harus dibatalkan karena tidak menjamin tegaknya kedaulatan pangan dan hak atas pangan seperti dijamin UUD 1945.

Mereka menguji Pasal 3, Pasal 36, Pasal 53, Pasal 69 huruf c, Pasal 77 ayat (1), (2), Pasal 133 UU Pangan.

Para pemohon menilai Pasal 3 dan Pasal 36 UU Pangan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan dan berimbas tak jelasnya tanggung gugat negara dalam pemenuhan hak warga negara atas kecukupan pangan dalam negeri.

Keberadaan frasa "pelaku usaha pangan" dalam Pasal 53 dan Pasal 133 bertentangan dengan UUD 1945 karena definisinya dinilai terlalu luas, sehingga potensial mengkriminalisasi pelaku usaha kecil dan perseorangan.

Para pemohon juga menilai, pembatasan teknologi rekayasa genetik melalui Pasal 69 huruf c dan Pasal 77 ayat (1), (2) sepanjang frasa "yang belum mendapatkan persetujuan keamanan pangan sebelum diedarkan" berpotensi melanggar hak hidup sejahtera dan lingkungan hidup yang sehat dan tidak menjamin keamanan pangan.

Menurut pemohon, teknologi rekayasa genetik belum bisa dikontrol pemerintah. Untuk itu, para pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal itu inkontitusional bersyarat.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement