Kamis 06 Feb 2014 13:10 WIB

Resep Menghindari 'Middle Income Trap' Ala Darmin Nasution

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Darmin Nasution
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Darmin Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kurun waktu 150 tahun terakhir, hanya segelintir negara yang dapat menghindari middle income trap (perangkap negara berpendapatan menengah). Sebagai contoh, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. 

"Tidak banyak," ujar Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Darmin Nasution saat membuka Seminar Nasional 'Perekonomian Indonesia: Menghindari Risiko Middle Income Trap Melalui Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan' di Gedung Dhanapala, Kompleks Kementerian Keuangan, Kamis (6/2).

Bagaimana dengan Indonesia? Darmin menyebut sebenarnya, seluruh pengampu kepentingan, telah mengetahui pendekatan untuk menjawab permasalahan ini. Kedua aspek yang harus diselesaikan diantaranya adalah sumber daya manusia (SDM) atawa human capital dan kelembagaan. 

Menurut Darmin, SDM adalah aspek yang paling krusial untuk menghindari middle income trap. Peran pendidikan belum terlihat, walaupun nominal anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus meningkat. "Sangat sedikit arah kebijakan yang mengarah untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan," kata mantan Gubernur Bank Indonesia ini.

Belanja pemerintah pusat menurut fungsi pendidikan terus mengalami peningkatan sejak tahun anggaran 2004. Jika pada 2004 nominalnya mencapai Rp 55,29 triliun, maka sembilan tahun setelahnya jumlahnya mencapai Rp 118,467 triliun. Fungsi pendidikan dalam konteks ini terkait antara lain pendidikan dasar hingga tinggi dan pengembangan budaya.

"Pendidikan Korea Selatan pada 1980-an sudah lebih baik dibandingkan kita saat ini. Dan sekarang, mereka yang merasakan pendidikan saat itu, masih hidup saat mereka masuk menjadi negara maju. Negara maju itu bukan hanya berpendapatan tinggi.  Lihat beberapa negara yang maju, tapi karena sumber daya alam habis, kembali lagi menjadi negara berpendapatan menengah. Mampu tidak kita mentransformasi SDM kita? di atas itu akan lahir produktivitas, inovasi dan kreatifitas," papar Darmin.

Sementara untuk aspek kelembagaan, Darmin menilai, aspek ini lengah dikembangkan dan dibenahi sejak kemerdekaan Indonesia. Kelembagaan meliputi berbagai hal, misalnya penegakan hukum, disiplin hingga standardisasi. Kelembagaan juga bisa terkait dengan ekonomi. 

"Ini harus di-benchmark agar ujung-ujungnya daya saing hingga ease of doing business meningkat. Fondasinya harus kita bangun," kata Darmin yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ini. 

Sebagai gambaran, pembagian negara berpendapatan menengah terdiri dari lower middle income countries dan upper middle income countries.  Untuk lower middle income, rentang pendapatannya 2.000 sampai 7.250 dolar AS per kapita, sedangkan untuk upper middle income, rentang pendapatannya 7.250-11.750 dolar AS per kapita.  Kalau di atas itu, negara tersebut masuk ke dalam high income countries.  Indonesia dengan pendapatan per kapita 4.270 dolar AS termasuk ke dalam lower middle income countries.

Durasi waktu 42 tahun itu terdiri dari 28 tahun waktu untuk naik ke upper middle income countries dan 14 tahun waktu untuk naik ke high income countries.  Menengok ke belakang, pendapatan per kapita Indonesia berada pada posisi 1.177 dolar pada 1999. Jumlah tersebut melonjak jadi 2.299 dolar AS per kapita pada 2000 dan tahun lalu besarannya mencapai 3.592 dolar AS per kapita. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya Agustus 2013 pernah menyebut pada 2014, pendapatan per kapita akan mendekati 5.000 dolar AS.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement