Jumat 07 Feb 2014 15:04 WIB

Memodifikasi Cuaca, Bolehkah?

Cuaca buruk.     (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Cuaca buruk. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah

Persentase keberhasilan modifikasi cuaca sangat kecil.

Cuaca ekstrem terkadang bisa menimbulkan kerugian baik materi ataupun korban jiwa. Tidak hanya musim kemarau yang menyebabkan kekeringan di mana-mana, tetapi juga hujan yang tak jarang menyisakan genangan air atau banjir.

Melalui rekayasa kimia, para ilmuwan mencoba memodifikasi cuaca, entah untuk mengurangi atau sebaliknya mendatangkan curah hujan. Sekalipun, sejak metode ini diperkenalkan pertama kali pada 1946, tingkat keberhasilannya masih diperdebatkan.

Pada 2003 sebuah studi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika Serikat (NAS), menyatakan tidak ada bukti hingga saat ini yang menguatkan efektivitas modifikasi cuaca.

Persentase keberhasilannya pun kecil, tak lebih dari 10 persen. Praktik ini pun memunculkan tanda tanya besar di sejumlah negara Timur Tengah dan menyedot perhatian sejumlah lembaga fatwa di kawasan tersebut.

Menurut Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta’) Yordania, modifikasi cuaca tersebut tidak dilarang dalam syariat. Ini merupakan bentuk ikhtiar menempuh faktor-faktor penyebab hujan berdasarkan teori ilmiah.

Allah SWT memang penentu utama cuaca, tetapi Dia menciptakan faktor penyebab hujan yang bisa terbaca berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sekalipun, dengan tetap meyakini pemegang kuasa atas cuaca hanyalah Allah. Ini sesuai dengan firman-Nya surah Lukman ayat 34. “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat dan Dia-lah yang menurunkan hujan.”

Meski demikian, lembaga ini memberikan syarat-syarat diperbolehkannya modifikasi cuaca, yaitu efektivitasnya didukung oleh para ilmuwan dan prosesnya tidak berdampak buruk baik bagi manusia, binatang, atau lingkungan.

Jika misalnya, modifikasi tersebut berefek buruk dan ternyata tidak efektif, hukumnya tidak boleh. Ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW riwayat Ibnu Majah, tidak ada bahaya dan membahayakan. Demikian pula, larangan menghambur-hamburkan uang, seperti yang tertera pada hadis riwayat Muslim.

Penegasan yang sama disampaikan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Uni Emirat Arab. Lembaga ini berpandangan, modifikasi tersebut harus di bawah pengawasan para ahli lingkungan dan kesehatan untuk memastikan tingkat keamanan bahan kimia yang digunakan terhadap lingkungan dan makhluk hidup.

Di pengujung fatwa, lembaga tersebut mengingatkan jalan terbaik mengundang hujan dan bertambahnya rezeki adalah meningkatkan takwa dan memperbanyak istighfar. Simak saja kisah Nabi Nuh AS yang terabadikan pada surah Nuh ayat 10-11.

“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.”

Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi menyatakan metode modifikasi cuaca yang juga dikenal dengan mathar shina’i atau hujan buatan itu, faktanya belum terbukti efektif seperti yang digembor-gemborkan selama ini.

Bahkan, terlalu dilebih-lebihkan karena kenyataannya tak cukup berefek. Ini membuka mata mereka bahwa bagaimanapun Allah-lah yang menurunkan hujan melalui proses-proses alami. Modifikasi tersebut hanya berhenti pada tahapan mendorong proses tersebut terjadi.

Hasilnya juga berpotensi sukses atau terkadang gagal. Kalaupun berhasil, curah hujan yang dihasilkan tak sebesar hujan yang normal. Wajar bila negara-negara yang bertumpu pada modifikasi cuaca tidak banyak mengambil faedah, selama Allah tidak berkehendak, tetap saja hujan tidak akan turun.

Guru Besar Fikih Universitas al-Azhar Kairo Mesir, almarhum ‘Athiyyah Shaqar, menegaskan bahwa metode-metode seperti ini tidak berguna. Teori ilmiah yang digunakan pun sangat terbatas, tidak berarti apa pun di hadapan kuasa Sang Khaliq. Metode itu mustahil mendatangkan cuaca panas, dingin, atau hujan sekalipun.

Bila metode ini diyakini efektif, tentunya akan bisa membantu menolong mereka yang hidup dalam bayang-bayang kelaparan akibat kemarau berkepanjangan, seperti yang terlihat di Benua Afrika. “Takdir dan kehendak Allah di atas segalanya,” ujar ‘Athiyah.

Di balik ketidakmampuan manusia menahan hujan, mendatangkan awan panas, mereka juga tidak akan pernah bisa menahan badai, petir, gempa, dan fenomena alam yang teramat dahsyat lainnya. Fakta itu semakin menguatkan keimanan bahwa Allah-lah Tuhan semesta alam. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS Faathir [35]: 15).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement