REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imron Baehaqi
Alkisah, setelah mendapat tausiyah (nasihat) dari al-Fudhail Ibn Iyad al-Tamimi, Khalifah Harun al-Rasyid berkata kepadanya, “Terimalah uang seribu dinar ini untuk kamu berikan kepada keluargamu dan untuk menunjang ibadahmu.”
Tetapi, al-Fudhail, seorang ulama yang ahli ibadah, itu menolaknya dan berkata, “Subhanallah, aku hanya menunjukkan kamu jalan menuju keselamatan, mengapa kamu membalasku dengan cara seperti ini? Semoga Allah memberikan kesejahteraan dan taufik kepadamu.”
Ada kisah lain. Suatu ketika salah seorang dari kaum Muslimin mengetahui Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin makan apel. Namun, ia tidak mempunyai harta untuk membeli buah itu. Lantas, orang tadi menghadiahkan sejumlah buah apel yang kemudian ditolak oleh Umar.
Pada saat beliau ditanya mengenai penyebab ia menolak menerima hadiah tersebut, ia menjawab, “Aku tidak menerima hadiah selama aku menjadi khalifah bagi kaum Muslimin.” Kedua kisah di atas menggambarkan sosok ulama dan pemimpin yang berkarakter mulia.
Sikap al-Fudhail merupakan representasi tokoh ulama yang berpegang teguh pada prinsip agama. Segala bentuk ibadah atau kebaikan yang dilakukannya semata-mata ikhlas untuk memperoleh keridhaan Allah SWT. Beliau tidak mengharapkan balasan atau upah.
Bahkan, ia menolak segala bentuk pemberian atau hadiah atas kebaikan yang dilakukannya. Sekalipun, pemberian itu datang dari seorang raja atau pejabat pemerintahan. Inilah ulama sejati.
Sedangkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan representasi tokoh pemimpin yang memiliki keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip religiusnya.
Ia tidak tergoda oleh segala bentuk hadiah, apalagi gratifikasi atau suap yang ditawarkan kepadanya. Inilah pemimpin sejati.
Al-Fudhail tidak suka kepada orang-orang yang suka pamer, sementara orang itu hanya pandai berbicara, tetapi tidak pernah berbuat. Di majelis perayaan, mereka suka dipuji dan disanjung atas sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Mereka pura-pura bertakwa, padahal suka berbuat maksiat. Pencitraan. Karena itu, ulama yang meninggalnya dalam keadaan sedang bersujud di dalam mihrab itu memperingatkan mereka, “Hendaklah bertakwa kepada Allah dan janganlah menjadi orang pamer sedangkan kamu tidak merasa.”
Di samping itu, ulama kelahiran Khurasan dan besar di Kufah ini senantiasa berpesan kepada kaum Muslimin agar menjaga ukhuwah (persaudaraan), khususnya di antara kalangan umat Islam sendiri.
Ia berpesan, “Jika Muslimin saling membicarakan kejelekan-kejelekan atau aib saudaranya, ini berarti ukhuwah Islamiyahnya telah pudar. Laksana kayu yang tersepuh emas dan perak, dari bagian luar terlihat indah, padahal dalamnya hanyalah sepotong kayu rapuh.”
Sementara, Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin yang tegas, adil, dan bijaksana. Tingkah laku dan ucapannya penuh kesantunan.
Ia tidak pernah bicara sepatah kata pun yang isinya mengingkari Islam. Sang khalifah kelahiran Madinah itu memangku jabatan sejak 99 Hijriyah.
Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tegas dan cepat dalam mengambil keputusan. Responsif dan tidak menunda-nunda. Pada saat terjadi konflik internal, golongan Qaramitha hendak keluar dan berpisah dari kaum Muslimin.
Tapi, ancaman konflik ini berhasil diselesaikan Umar bin Abdul Aziz dengan pendekatan dialog dan damai, tanpa ada kekerasan dan korban. Sikap pembelaan Umar sebagai khalifah tidak hanya dirasakan umat Islam, tetapi juga golongan non-Muslim.
Ia pernah membebaskan kaum kafir membayar jizyah (upeti) seraya berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad untuk memberi petunjuk, bukan untuk mengumpulkan harta.”
Dalam konteks kekinian, figur ulama seperti al-Fudhail dan pemimpin seperti Umar sulit dijumpai. Jika ada pun, jumlahnya minim.
Apalagi, ketika musim menjelang hajatan pemilihan umum seperti sekarang. Keulamaan dan jati diri kepemimpinan seseorang sering samar dan nyaris hilang.
Karena itu, sekilas kisah kepribadian kedua tokoh penting dan menarik di atas mudah-mudahan menjadi teladan kita. Khususnya, para ulama dan pemimpin di negeri ini.
Sekaligus, menjadi inspirasi agar kita lebih hati-hati dalam menentukan dan memilih figur pemimpin. Dengan demikian, negara yang besar ini dapat dikelola oleh para pemimpin yang baik, jujur, dan bertanggung jawab.