REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Sebuah kasus pengadilan untuk memutuskan tentang hak petani untuk menanam produk pertanian dengan rekayasa genetika dimulai di Mahkamah Agung Australia Barat, Senin (10/2).
Seorang petani organik di Kojonup, Australia Barat, menggugat tetangganya atas hilangnya penghasilan dan kerusakan setelah propertinya, katanya, terkontaminasi oleh kanola yang direkayasa secara genetik (GM canola).
Kojonup, 260 kilometer di tenggara Perth, berpenduduk sekitar 2.000 orang, sebagian besar petani yang sudah hidup di sana selama beberapa generasi dengan bercocok tanam dan beternak domba.
Steve Marsh meminta kompensasi finansial setelah kehilangan sertifikasi organik atas 70 persen lahan pertaniannya.
Ia menduga, propertinya terkontaminasi oleh bahan GM canola dari properti milik Michael Baxter yang bersebelahan pada bulan November 2010.
Pada waktu itu, properti Marsh mempunyai sertifikasi organik dari National Association for Sustainable Agriculture Australia (NASAA), yang tidak boleh tercemar oleh bahan yang direkayasa secara genetika.
Marsh mengemukakan, GM canola terbawa angin sampai 1,5 kilometer di dalam pagar perbatasan propertinya.
Ia mendapat dukungan kuat dari kelompok-kelompok seperti Safe Food Foundation.
Asosiasi Petani dan Peternak Australia Barat (Western Australian Pastoralists and Graziers Association-PGA) segera memberikan dukungan kepada Baxter, membentuk dana dengan mengumpulkan donasi untuk biaya hukumnya.
John Snook dari PGA kecewa dengan kurangnya dukungan publik terhadap pilihan dalam pertanian dan manfaat dari teknologi baru.
Sejak rekayasa genetik (GM) dilakukan secara komersial di Australia Barat di tahun 2010, komunitas petani Kojonup diguncang perdebatan yang emosional seputar tanaman GM di daerah mereka.
Steve Marsh dan Michael Baxter dibesarkan di lahan pertanian yang bersebelahan dan ketika masih kecil bersama-sama naik bis ke sekolah.
Persahabatan kedua keluarga terpecah oleh kasus pengadilan ini, yang menjadi perhatian di seluruh dunia.