Senin 10 Feb 2014 22:12 WIB

Maqam al-Jam'iyyah al-Ilahiyyah (3-habis)

Ilustrasi
Foto: Surftin.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Konsekuensi manusia sebagai penyandang al-jam’iyyah Ilahiyyah, harus menyadari bahwa hidup ini tidak hanya datar, penuh keindahan, kebahagiaan, dan kedamaian. Tetapi, hidup manusia juga penuh kesulitan, kesusahan, dan penderitaan.

Manusia bukan malaikat yang sepanjang hidupnya jamaliyyah atau mungkin iblis sepanjang hidupnya jalaliyyah.

Manusia harus bersedia menjalani kehidupannya penuh dengan tawa dan tangis, berimbang antara harapan (raja’) dan ketakutan (khauf), terkadang berperasaan jauh dengan Tuhan (tanazzuh), terkadang pula berperasaan sangat dekat (tasybih), bahkan menyatu dengan Tuhan (ittihad).

Itulah manusia, senantiasa dibayangi mix feeling dan fluktuasi kehidupan. Untuk mengatasi masalah ini, ada Alquran dan hadis Nabi yang dapat dijadikan penuntun dan kekuatan stabilisator dalam menjalani kehidupan.

  

Orang yang sudah mencapai makrifat sulit membedakan antara seonggok batu dan seonggok berlian atau antara musibah dan rahmat. Mereka merasakan keindahan keduanya. Tidak ada lagi kutub yang berbeda. Hanya orang yang belum mencapai tingkat makrifat yang sulit mengerti nama dan sifat Allah al-Awwal dan al-Akhir serta az-Zhahir dan al-Bathin.

Jika seseorang selalu saja mengelak dan membenci musibah serta terus berharap dan mencintai rahmat-Nya maka itu pertanda masih kuatnya ego yang bersangkutan. Jika ego manusia sudah tenggelam, apa pun yang datang kepadanya adalah nikmat. Karena, ia sudah meniru kehidupan malaikat yang dipadati kekuatan jamaliyyah. Allahu a’lam.

  

Dalam kitab-kitab tafsir Syiah dan umumnya para sufi secara terus terang mengatakan  bahwa roh yang ada di dalam diri Adam, “Wa nafakhtu fihi min ruhi (Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku),”  (QS al-Hijr [15]: 29), yaitu “roh dari Tuhan”.

Karena itu, setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para makhluk lain termasuk, para malaikat dan jin, bersujud kepadanya dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (QS al-An’am [6]: 165) disamping sebagai hamba (QS az-Dzariyaat [51]: 56).

  

Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis. Karena, hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim) (QS at-Tin [95]: 4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat “paling rendah” (asfala safilin) (QS at-Tiin [95]: 5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (QS al-A’raf [7]:179).

Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia mampu menyinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya. Yaitu, kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan rohani (SI).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement