REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Ia memutuskan berhenti dari pekerjaan yang penuh maksiat.
Pria ini lekat dengan kehidupan hura-hura selebritas Hollywood. George Green pernah menjadi manajer tur untuk artis-artis besar, seperti Jay-Z, Kanye West, 50 Cent, Snoop Dogg, dan banyak lagi selebritas kelas atas lainnya.
Selama bergulat dengan pekerjaanya, ia dihadapkan langsung dengan kehidupan para selebritas itu. “Setiap saat saya melihat gaya hidup glamor di hadapan saya,” ujarnya, dilansir dalam video acara The Deen Show, yang diperoleh dari laman Firstpost.
Setiap hari tugasnya adalah menyediakan semua fasilitas bagi para selebritas tersebut. Dari mobil mewah terbaru, perhiasan, juga perempuan untuk teman mereka.
“Tak hanya itu, setiap hari mereka mengadakan pesta yang dipenuhi alkohol dan narkoba, akulah yang bertugas untuk mencari obat-obat terlarang juga perempuan panggilan untuk mereka,” jelasnya.
Dihadapkan pada situasi seperti ini setiap hari, membuatnya muak. Ia mengaku hidupnya tidak bahagia, merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. “Aku seperti sedang mencari sesuatu, namun tak tahu apa itu, aku merasa hidupku kurang lengkap,” ujarnya.
Waktu demi waktu berjalan, lama-lama ia bosan dengan pekerjaannya. Kehidupan glamour dan pesta setiap hari tak cocok untuknya. Apalagi, di setiap gegap gempita pesta tersebut, dialah yang paling repot karena harus melayani para artis dan menyediakan apa saja yang mereka minta.
Ia akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan yang menurutnya penuh dengan maksiat tersebut. “Saat itu dalam pikiranku adalah sekarang saatnya saya mencari sesuatu untuk diriku sendiri, bukan untuk melayani orang lain,” katanya.
Masa kecilnya jauh dari kisah bahagia. Ia lahir di Detroit, Michigan dari orang tua yang masih sangat muda dan tak siap punya anak. Ketika memasuki usia remaja, ia kemudian pindah ke New York dan tinggal bersama neneknya.
Di sinilah ia bergaul dengan geng jalanan dan selalu berhadapan dengan narkoba dan kekerasan serta masalah kriminal yang lain. “Aku tak pernah mengenal sosok ayah dan jauh dari kehidupan religius,” katanya.
Kesehariannya lekat dengan pesta dan hura-hura. Ia mengenal salah seorang yang bekerja di perusahaan rekaman dan memanfaatkannya agar bisa ikut pesta gratis setiap saat.
Setelah lulus kuliah dari Auburn University of Montgomery, ia direkrut perusahaan rekaman Roc-A-Fella Records sebagai asisten direktur nasional untuk marketing, branding, promosi, dan manajemen tur. “Ini sesuai dengan kemampuanku untuk mengorbitkan dan mempromosikan artis,” katanya.
Menjalani pekerjaannya ini membuatnya bangga. Ia bisa meraih impian dari seorang pria kulit hitam, yaitu bisa kaya dan terkenal, punya banyak pacar, dihormati, dan punya kekuasaan. “Namun, di balik kepuasan itu jiwaku merasa kosong,” ujarnya.
Hingga suatu hari ia melakukan perjalanan kerja ke negara-negara di Timur Tengah, seperti Dubai, Kuwait, Irak, Bahrain, dan Abu Dhabi pada 2004.
Di sana ia kagum dengan keramahan penduduknya yang menyambutnya dengan penuh senyuman dan tangan terbuka, padahal ia bukan Muslim. Ini berbeda 180 derajat dengan sikap yang biasa orang-orang Amerika tunjukkan jika mereka bertemu dengan Muslim.
Kekagumannya kemudian berlanjut dengan rasa ingin tahu yang begitu besar. Ia pun semakin hormat dengan orang-orang Islam karena mereka mau menjawab pertanyaannya seputar dasar-dasar Islam.
“Aku ingin semakin tahu lebih dalam hingga saat Ramadhan 2010, aku memutuskan untuk tinggal di Irak dan Kuwait selama dua minggu,” ujarnya.
Pengalaman relijius ini menyentuh dasar kalbunya. Ia merasa telah menemukan jawaban atas kekosongan jiwanya selama ini yang dirasakannya. Sekembalinya ke Amerika, ia pun sudah siap untuk mengucapkan syahadat dan masuk islam.
Namun, ia masih khawatir bagaimana nanti lingkungannya, teman-teman, dan keluarganya bisa atau tidak menerimanya sebagai seorang Muslim di tengah mereka.
Sebuah mimpi di suatu malam membuatnya menepis ketakutan ini. Ia kemudian mantap masuk Islam secara resmi pada 30 April 2012.
Masa awal menjadi Muslim ia mengakui banyak menemui kesulitan. Orang-orang di sekitarnya yang dekat dengan banyak masalah kriminal mulai menghindarinya.
Saat ia ingin bergaul dengan komunitas Muslim, ia dipandang sebelah mata karena ia berkulit hitam dan penampilannya seperti anggota gangster.
“Namun, kesulitan yang aku hadapi tak pernah mematahkan niatku. Aku terus datang ke masjid dan banyak mendapatkan pencerahan dari para imam yang semakin memantapkan imanku,” katanya.
Ia menemukan sebuah kepuasaan yang tak tenilai saat ini. Ia masih ingat, saat jiwanya merasa kosong dulu, ia berkali-kali mencoba apa pun untuk mengisi relung jiwa yang kosong tersebut, namun ia tak pernah merasa puas. “Aku terus merasa kosong, hingga akhirnya aku bertemu Islam,” katanya.