Oleh: Afriza Hanifa
Lembaga fatwa telah ada sejak zaman Turki Usmani.
Semakin maju zaman, semakin banyak permasalahan yang perlu diatur dalam agama. Islam adalah agama yang sempurna sehingga setiap masalah baru dapat merujuk kembali kepada Alquran dan Sunah.
Nah, tugas pemberi fatwa atau mufti untuk menginterpretasi hukum-hukum Islam dari setiap masalah tersebut.
Kedudukan fatwa teramat penting dalam kehidupan umat Islam. Andaikata tak ada fatwa, umat Islam akan dilanda kebingungan dalam menentukan hukum suatu permasalahan.
Bahkan, bukan tak mungkin, mereka tanpa sengaja melakukan hal yang haram lantaran tak jelasnya permasalahan hukum halal dan haram. Memberi patokan hukum bagi umat, para pemberi fatwa berperan sebagai pewaris para Nabi dan Rasul.
Fatwa mulai diperlukan saat era kerasulan berakhir, yakni setelah wafatnya Rasulullah SAW. Namun, keberadaan sahabat Rasulullah, para tabiin dan tabiut tabiin memudahkan umat bertanya setiap permasalahan hukum Islam.
Mereka berperan sebagai mujtahid yang menentukan hukum Islam berdasarkan hasil ijtihad. Namun, perlu dibedakan antara ijtihad dan fatwa. Ijtihad mengacu kepada para cendekiawan yang mencari pendapat mengenai penerapan hukum.
Adapun fatwa mengacu pada peran sosial seorang mujtahid sebagai konsultan dalam perkara hukum, hampir mirip dengan peran qadhi atau hakim. Saat itu, belum terdapat lembaga fatwa. Masyarakat mengenal mufti sebagai perorangan yang terpilih dari kumpulan cendekiawan.
Pada awal abad ke-11 di era Kekhalifahan Turki Usmani, terdapat sebuah kantor publik mufti yang diikutsertakan dalam ifta’ (tindakan menghasilkan fatwa). Kemudian muncul istilah Syekh al-Islam di Kota Khurasan.
Istilah tersebut ditujukan kepada pimpinan ulama setempat yang berperan sebagai kepala para mufti. Di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk, seorang mufti dari setiap mazhab dilibatkan dalam proses pertimbangan pengadilan di ibu kota provinsi. Inilah kali pertama mufti ikut serta dalam lembaga negara.
Masih di era Kekhalifahan Turki Usmani, tepatnya di masa pemerintahan Sultan Murad II (1421-1444, 1446-1451), istilah Syekh al-Islam digunakan secara resmi oleh negara.
Sultan menobatkan Syekh al-Islam menjadi pejabat tinggi, yakni kepala mufti kerajaan. Ia menetapkan seorang mufti di setiap kota kemudian menggabungkan mereka dalam sistem birokrasi serta mengorganisasi ifta' sebagai prosedur rutin negara.