Oleh: Afriza Hanifa
Paul Rycaut dalam bukunya The Present State of The Ottoman Empire menyebutkan, Syekh al-Islam diangkat oleh Sultan, namun tak menjadi bagian dari pengadilan negara.
Mufti tak berhubungan dengan kehakiman, tetapi memutuskan perkara yang ditanyakan kepada mereka. Setiap keputusan yang dikeluarkan Syekh al-Islam dicatat dan dijaga oleh Fatwa Emini di sebuah kantor khusus pencatatan.
Meski di era Murad II telah terbentuk lembaga fatwa, para mufti belum sepenuhnya berstatus formal. Hingga di masa Khalifah Sulaiman (1520-1566 M), jabatan mufti tak lagi merupakan tugas sampingan seorang ulama.
Jabatan mufti menjadi sepenuhnya formal di bawah kekhalifahan. Khalifah Sulaiman kemudian menetapkan mufti Istanbul sebagai Syekh al-Islam dan menobatkannya sebagai kepala agama yang memimpin seluruh Kekhalifahan Turki Usmani.
Sultan Sulaiman benar-benar memberi hak yang besar kepada mufti. Dengan kekuasaan memimpin agama kekhalifahan, mufti bahkan diizinkan mengeluarkan fatwa sanksi politik, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Segala kebijakan Sultan pun sangat bergantung pada fatwa Syekh al-Islam. Syekh al-Islam pun hanya dapat diangkat dan diberhentikan oleh Sultan. Namun, dalam mengeksekusi hukuman, otoritas tetap dipegang kadi atau hakim negara yang bersifat umum.
Berangkat dari Turki Usmani, kelembagaan mufti dalam negara pun kemudian berkembang ke dunia Islam lain. Di Kesultanan Mughal India, terdapat kepala agama layaknya Syekh al-Islam.
Di wilayah Kesultanan Mughal, sebutannya adalah Sadr Al-Sudur. Kemudian di Persia, pada masa kekuasaan Dinasti Safawi, Syekh al-Islam berperan sebagai mufti agung sekaligus kepala hierarki agama.
Fatwa di era kolonial
Dalam perkembangannya, lembaga fatwa terus mengalami transformasi, terutama di abad ke-19 dan abad 20, seiring runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani. Kekuatan Eropa mendominasi wilayah Muslim.
Kekuatan fatwa memudar diganti hukum kolonial Eropa. Selama periode penjajahan, fatwa menjadi alat mengerahkan masyarakat untuk melawan penjajah. Sebagai contoh, pada 1904 M Utsman Ibn Fudi mendeklarasikan jihad di Afrika Barat (saat ini utara Nigeria).
Sejak itu, fatwa selalu digunakan dalam politik ekonomi pemerintahan negara tertentu. Beberapa contoh, yakni pada 1933 ulama Irak mengeluarkan fatwa untuk memboikot produk Zionis. Kemudian pada 1937 ulama Ikhwanul Muslimin mengeluarkan fatwa jihad untuk Palestina.
Selain itu, pada 1971, Ayatullah Khomeini memfatwakan untuk memboikot perayaan monarki Iran. Jika disimpulkan, secara historis, fatwa memiliki fungsi sebagai instrumen regulasi dan rekonstitusi sosial masyarakat.
Saat ini, institusi fatwa masih terus hidup di tengah masyarakat, menyelesaikan masalah perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Cendekiawan modern pun masih mendefinisikan fatwa sebagai pendapat hukum resmi yang dikeluarkan oleh pakar hukum Islam.
Menurut Emile Tyan dalam Ensiklopedi Islam, lembaga fatwa masih terus tumbuh karena tak adanya kekuatan legislatif dalam Islam. Ia berpendapat, mufti dalam politik Islam berperan sebagaimana pembuat undang-undang dalam tata pemerintahan demokrasi.
Di era modern, beberapa negara Muslim pun masih memiliki lembaga fatwa seperti halnya pada masa Turki Usmani. Arab Saudi, misalnya, memiliki lembaga fatwa yang bernama Hay'ah Kibar al-Ulama.
Lembaga fatwa tertinggi di Mesir disebut Darul Iftaa' al-Mishriyyah, sedangkan di Pakistan bernama Council of Islamic Ideology. Selain memberi fatwa, lembaga-lembaga fatwa itu biasanya berperan sebagai penasihat negara.