Rabu 12 Feb 2014 13:42 WIB

Islam Cheng Ho (6-habis)

Laksamana Cheng Ho dan armadanya (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Laksamana Cheng Ho dan armadanya (ilustrasi).

Oleh: Afriza Hanifa

Sesaji halal

Pemujaan Cheng Ho hampir dilakukan di setiap kelenteng di Semarang. Uniknya, warga Cina memberikan sesaji dengan makanan-makanan halal karena Cheng Ho beragama Islam.

Keunikan masyarakat Cina di Semarang dilihat dari pemujaan kepada tokoh atau leluhur dilakukan tanpa melihat dasar kepercayaan atau agamanya.

Dengan beragamnya kepercayaan dan etnis yang menyembah Cheng Ho, Kelenteng Sam Poo Kong pun tak lagi hanya beraroma dupa. Namun, aroma kembang dan menyan juga mendampingi asap dupa dan lilin. “Yang beragam agama. Mulai Islam, Kejawen, Konghucu, Tao, dan sebagainya,” tutur Jongkie.

Bahkan, Sam Poo Kong, menurut Jongkie, menjadi sebuah kelenteng karena dikembangkan oleh masyarakat Cina. Jika melihat agama Cheng Ho yang Islam, namun mengapa justru yang didirikan sebuah kelenteng bukan masjid.

Menurut Jongkie, terdapat kemungkinan maksud pendirian Sam Poo Kong sebagai masjid. Melihat model bangunan masjid di Cina memang tak berbeda dengan kelenteng.

Namun pada akhirnya, bangunan menjadi kelenteng karena banyaknya warga Cina yang datang meminta hajat dan ternyata terkabul. Sehingga, mereka pun mengembangkan Sam Poo Kong menjadi kelenteng pemujaan.

Ada pun warga Jawa Islam Ke jawen hingga kini masih sering menziarahi “makam” Cheng Ho. Meski lokasinya berada di tengah kelenteng, mereka tetap melakukan kunjungan ziarah.

Mereka bersama-sama warga Tiong Hoa, “menyembah” sosok yang sama, di tempat yang sama. Hanya “persembahan” saja yang berbeda, Kejawen membawa bunga, Tionghoa membawa dupa.

Dalam kepercayaan Cina, mereka memang menyembah banyak dewa yang tak terhitung jumlahnya. Menurut kepercayaan tersebut, mereka tak dapat meminta langsung kepada Tuhan karena jarak hamba dan Tuhan sangat jauh. Sehingga, diperlukan dewa-dewa yang akan “mengantarkan” pesan kepada Tuhan.

Meskipun warga Cina memeluk agama Konghucu, Buddha, Hindu, Kristen, Katolik, atau agama lain selain Islam, mereka akan tetap menuju kelenteng setelah menuju gereja, wihara, dan lain sebagainya. Hal tersebut dijelaskan oleh Jongkie Tio.

“Warga Cina setelah menyembah Tuhan, mereka tetap berkunjung ke kelenteng. Karena, dalam kepercayaan memang Tuhan sangat tinggi sehingga memerlukan dewa-dewa tersebut sebagai perantara. Namun, warga Cina yang memeluk beragama Islam, mereka tak lagi pergi ke kelenteng,” ujarnya.

Dalam ajaran Islam, memang hanya meng-Esakan Allah. Hanya satu Tuhan dan tak ada perantara dalam berdoa. Berbeda dengan ajaran Cina, Islam mengajarkan Tuhan sangat dekat dengan hambanya.

Oleh karena itu, Muslim tak memerlukan perantara seperti dewa untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan.

Meski demikian, di tanah Jawa terdapat nilai Kejawen yang merasuki ajaran Islam. Sehingga, sebagian masyarakat Jawa menganut Kejawen dan mendatangi para tokoh sebagai perantara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement