Oleh: Hannan Putra
Secara harfiyah, majelis adalah tembaga atau sekelompok orang yang merupakan satu kesatuan yang memiliki tujuan bersama.
Sedangkan syura adalah musyawarah atau meminta pendapat orang lain tentang suatu masalah yang dipertanyakan.
Jadi, Majelis Syura merupakan lembaga yang memperbincangkan suatu masalah serta menetapkan keputusan bersama tentang suatu masalah menyangkut kemaslahatan umat.
Istilah ahl asy-syura, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli fikih siyasi (politik) kontemporer dari Mesir, Abdul Hamid al-Ansari, sebenarnya telah ada sejak zaman Khulafaur Rasyidin. Bahkan, sejak masa Rasulullah SAW.
Namun, peristilahan tersebut belum mengacu pada suatu lembaga yang berdiri sendiri dengan anggota tertentu sebagaimana dikenal sekarang.
Penggunaan istilah itu terkenal dan populer pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, timbul istilah lain yang semakna dengan itu, yakni ahl al-hal wa al-aqd dan ahl al-ikhtiyar, yang artinya "orang yang berkompeten untuk melepaskan dan mengikat”.
Namun, secara pasti tidak diketahui siapa yang mengemukakan peristilahan tersebut. Menurut sebagian ulama fikih siyasi, orang pertama yang mempopulerkan peristilahan itu adalah Imam al-Mawardi.
Menurut istilah fikih, ditemukan berbagai pendapat bahwa majelis syura itu sama dengan ahl al-hal wal al-aqd, yakni suatu lembaga yang terdiri atas para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah untuk mendapatkan kebenaran.
Pendapat tersebut antara lain dikemukakan seorang pakar politik Islam kontemporer Mesir, Abdur Rahman Abdul Khaliq. Dalam bukunya, Asy-Syurfi fi Zilli Nizam al-Hukm al-Islami (Musyawarah dalam Sistem Pemerintahan Islam) disebutkan, mengadakan musyawarah melalui lembaga ini akan lahir berbagai pendapat tentang masalah yang sedang dihadapi. Dan, hal itu akan lebih menghasilkan kebenaran daripada jika hanya diputuskan sendiri.
Menurut Abdul Hamid al-Ansari dalam Asy-Syura wa Asaruhu fi ad-Demoqratiyyah (Musyawarah dan Pengaruhnya terhadap Demokrasi), majelis syura adalah sarana yang digunakan rakyat atau wakilnya untuk membicarakan kemaslahatan umat.
Sejalan dengan pendapat tersebut, maka rakyatlah yang berhak untuk menentukan nasibnya serta menentukan siapa yang akan mereka angkat sebagai penguasa sesuai dengan kemaslahatan umum yang mereka inginkan.
Penulis kitab Al-Ahkam As-Sultaniyyah, Imam al-Mawardi mengemukakan, terdapat persamaan antara majelis syura dan ahl al-hal wa al-aqd, ahl al-ijtihad, dan ahl al-ikhtiyar.
Secara etimologi ahl al-hal wa al-aqd berarti orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.
Dalam buku itu Imam al-Mawardi menguraikan bahwa ahl al-hal wa al-aqd adalah wakil rakyat yang terdiri atas para mujtahid di bidang hukum Islam.
Mereka juga memiliki kemampuan di bidang lain yang menopang peran mereka sebagai wakil rakyat dalam menentukan kebijakan demi kemaslahatan, juga sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin mereka.