Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam kitab-kitab tasawuf, cerita tentang ketajaman mata batin sering ditemukan.
Sebagai contoh, suatu ketika Imam al-Ghazali (1058-1111 M) ditanya muridnya, “Mengapa engkau sering mengutip hadis-hadis ahad (tidak populer) di dalam kitab Ihya Ulumuddin?”
Lalu, ia menjawab, “Saya tidak pernah menulis satu hadis di dalam buku ini sebelum saya konfirmasikan kepada Rasulullah SAW.”
Bila diteliti selisih masanya, pernyataan al-Ghazali tak wajar. Rasulullah wafat 632 M dan al-Gazali wafat 1111 M, selisih 479 tahun. Kitab Ihya Ulumuddin merupakan masterpiece al-Ghazali yang ditulis di puncak menara Masjid Damaskus. Ini adalah berkat mimpi dari al-Ghazali.
Kejadian lain, Ibn al-Arabi (1165-1240 M), seorang sufi besar, ditanya seorang muridnya perihal bukunya, Fushush al-Hikam, yang dirasakan seperti ada misteri. Kata muridnya, “Setiap kali saya baca buku ini, setiap itu pula saya mendapatkan sesuatu yang baru.”
Lalu dijawab, “Buku itu memang pemberian Rasulullah langsung kepada saya, bahkan judul bukunya pun dari Rasulullah (khudz hadza kitab Fushuhsh al-Hikam). Padahal, selisih masa hidup Rasulullah dan Ibn al-Arabi terpaut 608 tahun.
Mata batin ialah kekuatan untuk melihat dan menyaksikan sesuatu yang oleh mata fisik tidak mampu dilihat atau disaksikan.
Dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya karangan Yusuf Ismail an-Nabhani (dua jilid), disebutkan, sejumlah wali bisa berkomunikasi lancar dengan Rasulullah SAW atau dengan ulama-ulama besar di zaman jauh sebelumnya melalui kekuatan “mimpi”.
Bahkan, dikatakan alangkah miskinnya seorang murid (pencari makrifat) kalau gurunya hanya orang-orang hidup. Cerita-serita semacam ini bisa kita lihat dalam banyak kitab, termasuk karya monumental Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani, seperti telah disebutkan, yang terdiri atas dua jilid dengan menampilkan 695 tokoh yang dikategorikannya sebagai wali.
Banyak hadis shahih yang meriwayatkan keutamaan mimpi berjumpa Rasulullah. Di antara hadis itu, yakni “Barang siapa melihatku dalam mimpi maka dia benar-benar telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak dapat menjelma sepertiku.” (HR Muslim dari Abi Hurairah).
Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang melihat aku dalam mimpi, maka dia benar-benar melihat sesuatu yang benar.” (HR Muslim dari Abu Qatadah).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa yang sering bershalawat terhadapku, aku tahu dan aku tentu memberikan syafaat di hari kiamat.” Selain itu dikatakan pula, “Barang siapa memimpikan aku, maka aku akan bersamanya nanti di surga.”