REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR RI mengakui adanya politisasi dalam rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, politik tersebut untuk kepentingan bangsa dan menghasilkan seorang negarawan di lembaga peradilan tinggi tersebut.
Wakil Ketua Komisi III, Tjatur Sapto Edi mengatakan, jangan memandang politik itu buruk. Kalau memang tidak ada kepentingan tersebut, maka tidak akan ada negara Indonesia, karena itu opini atas politik belum tentu buruk.
"Jangan menyamaratakan satu kasus (Akil Mochtar) dengan kondisi yang ada saat ini. Banyak juga orang-orang hebat dari partai politik, bahkan mereka punya kompetensi lebih baik dibanding lapisan elemen masyarakat lainnya," kata Tjatur saat dihubungi /Republika/, Ahad (16/2).
Lagipula, meski dari partisan atau anggota partai politik (parpol), seorang hakim MK harus melepas segala aributnya dan menjadi negarawan. Dari unsur parpol tidak berhak lagi melakukan kompromi atau pendekatan lainnya.
Alasannya, hakim konstitusi mempunyai jabatan tertinggi di negara ini. Bahkan DPR atau Presiden pun bisa digugurkan oleh peradilan tersebut. Maka itu, hanya negarawan yang bisa duduk di kursi hakim MK. Dan prosesnya pun, tidak bisa sembarangan.