REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Presiden Republik Afrika Tengah, negara yang berada dalam konflik, meminta pasukan Prancis untuk tetap tinggal sampai pemungutan suara dilakukan pada awal 2015 sebab kekerasan sektarian terus berlanjut, sehingga merusak harapan pihak Perancis untuk segera keluar dari negara itu.
"Presiden sementara Republik Afrika Tengah mengatakan kepada kami bahwa pasukan Perancis harus tinggal sampai pelaksanaan pemilihan umum, yaitu sampai awal 2015," kata anggota parlemen Prancis Elizabeth Guigou di Bangui, Selasa.
Ketika Prancis meluncurkan operasi Sangaris pada Desember lalu di Afrika Tengah untuk mencegah pembunuhan sektarian massal, Presiden Francois Hollande membayangkan penyebaran pasukan Prancis hanya diperlukan dalam waktu singkat.
Namun, pada Sabtu, dengan adanya kampanye besar mengenai pembersihan etnis terhadap kaum Muslim di Afrika Tengah, Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian mengakui bahwa operasi yang dilakukan pasukan Perancis itu bisa berlangsung "lebih lama dari yang direncanakan".
Oleh karena itu, Parlemen Prancis pada 25 Februari akan melakukan pemungutan suara untuk memutuskan apakah 2.000 tentara Perancis yang dikerahkan di Afrika Tengah dapat tinggal lebih lama dari mandat awal mereka, yang berakhir pada April 2014.
Kelompok oposisi sayap kanan Perancis telah meminta kejelasan mengenai target operasi tersebut, namun berhenti untuk menyerukan tentang penarikan awal pasukan.
"Perancis tidak bisa menangani semuanya sendiri," kata pemimpin komite urusan luar negeri parlemen Prancis Guigou setelah pertemuannya dengan Presiden sementara Republik Afrika Tengah Catherine Samba-Panza.
Uni Eropa telah berjanji mengirimkan sekitar 900 pasukan dan 6.000 tentara Uni Afrika telah berada di Afrika Tengah, tetapi ahli mediator krisis antarbenua menilai diperlukan tentara yang lebih untuk mengatasi konflik di Afrika Tengah.
"Untuk mencakup seluruh wilayah konflik, kita membutuhkan kontingen internasional setidaknya 10.000," kata Presiden Republik Kongo Denis Sassou Nguesso dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Perancis Le Figaro.
Harian Amnesty International pekan lalu mengatakan bahwa para militan kelompok anti-balaka, yang sebagian besar umat Kristen, sedang berusaha untuk membasmi kelompok minoritas Muslim di negara itu.
"'Pembersihan Etnis' Muslim telah dilakukan di bagian barat Republik Afrika Tengah, bagian yang paling padat penduduknya, sejak awal Januari 2014," demikian dilaporkan Amnesty International.
Kelompok militan Kristen anti-balaka awalnya merupakan kelompok pertahanan diri yang dibentuk sebagai tanggapan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok pemberontak Seleka, yang sebagian besar Muslim, yang melakukan kudeta pada Maret 2013.
Dengan sedikitnya sisa anggota kelompok pemberontak Seleka sejak Perancis mengerahkan pasukannya dua bulan lalu, sebagian besar kekerasan yang berlangsung di Afrika Tengah sekarang ini lebih disebabkan oleh serangan kelompok anti-Balaka.
Oleh karena itu, Presiden sementara Samba Panza, yang mengambil alih kekuasaan dari mantan pemimpin kelompok Seleka, Michel Djotodia, mengatakan pihaknya akan "berperang melawan anti-Balaka".
Pasukan Perancis dan Afrika yang berada di Afrika Tengah telah kewalahan dalam mencegah terjadinya penjarahan massal dan siklus serangan balas dendam antara kelompok anti-balaka dan seleka.