REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sudah mengalami kekerasan, di negeri orang pula. Begitulah yang dialami seorang perempuan migran dari negara Mauritius, yang terletak dekat daratan Afrika. Awalnya, Ia datang ke Australia untuk tinggal bersama suaminya setelah sekitar satu tahun berhubungan jarak jauh. Namun, saat tiba di Australia, Ia mendapati suaminya berubah menjadi kasar dan memaksanya bekerja tanpa henti.
Suatu hari, saat perempuan yang enggan disebut namanya ini mencoba bertanya kenapa suaminya berubah, Ia mengalami kekerasan.
“Dia bilang ‘Di sini kamu harus lakukan apa yang saya suruh. Diam saja dan lakukan apa yang saya mau.’ Saya bilang, saya tak mau hidup seperti itu karena saya sudah kehilangan suami saya yang pertama. Ia meninggal. Dan saya punya dua anak,” ceritanya.
“Dia bilang dua anak saya tak akan ke Australia. Saya harus tandatangan dokumen soal itu. Saya bilang, saya tak bisa lakukan itu.”
Suaminya terus berteriak, melempar koper-koper milik istrinya ke jalan, dan kemudian mendorongnya hingga membentur panggangan dan terluka. Perempuan yang kini berusia 47 tahun itu kemudian harus menunggu dijemput di tepi jalan sementara suaminya terus berteriak memaki-maki dari depan rumah.
Ia bercerita hampir tidak mendapat bantuan dari saudara-saudaranya di Australia dan tidak ingin pulang ke negaranya karena Ia telah meninggalkan pekerjaannya di Mauritius.
Kesulitan Bahasa
Perempuan tersebut mengaku mendapat bantuan dari LSM dan juga dari Gereja.
Menurut Dinar Tyas, yang pindah ke Melbourne dari Jakarta tahun 1998, cerita macam ini bukan sekali-dua kali terjadi di Australia.
Sebagai pekerja bidang sosial, Ia seringkali mendampingi perempuan korban kekerasan, terutama yang berasal dari latar belakang migran dan tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar.
“Saya disini migran. Saya mengerti masalah perempuan, disini tak punya keluarga, mengalami sulitnya mencari pekerjaan, sulitnya berbicara dalam bahasa Inggris, kemudian sulitnya kalau harus pergi ke court (pengadilan), bagaimana caranya kalau misalnya menikah dengan pria Australia kemudian kita harus bercerai, yang mau menolong kita itu siapa?” ungkap Dinar.
Perempuan migran, apalagi yang pindah ke Australia dengan mengggunakan visa pasangan (spousal visa) juga sering mengalami ancaman untuk dikirim kembali ke negara mereka, alias threat to deport, lanjutnya.
“Biasanya mereka [para laki-laki] suka bilang ke istri atau pacar mereka, ‘Kalau begini saya pulangin aja kamu ke negeri kamu.’ Kadang-kadang, [para korban] sudah punya anak tapi anaknya kalau lahir di sini jadi warga negara Australia tapi ibunya mungkin bukan…jadi mereka meskipun dipukuli tetap saja tinggal dalam hubungan itu karena takut kalau misalnya mereka diharuskan pulang ke negaranya, bagaimana dengan anaknya,” ucap Dinar.
Beban yang dipikul perempuan migran ini menjadi salah satu alasan Dinar turut serta dalam menggerakkan aksi One Billion Rising di Melbourne, yang tahun ini diadakan lagi di ruang publik Federation Square hari Jum'at lalu, tepatnya tanggal 14 Februari,
Aksi ini menyuarakan penghentian kekerasan terhadap perempuan. Pendukungnya di Australia antara lain Gubernur Jendral Quentin Bryce dan Ayman Islam dari Islamic Council of Victoria.
Nama One Billion Rising diambil dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan bahwa setidaknya satu di antara tiga perempuan semasa hidupnya mengalami kekerasan, dipaksa berhubungan seks, atau dilecehkan oleh pasangannya.
Populasi dunia saat ini sekitar tujuh miliar, hingga angka perempuan yang mengalami kekerasan pun berarti lebih dari satu miliar.
Dinar mengakui, Ia memang merasa lebih bebas dan aman di Melbourne, namun, bukan berarti kota ini bebas dari kekerasan.
Ini disinggung juga oleh Ketua Komisioner Polisi Negara Bagian Victoria, tempat Melbourne terletak, yaitu Ken D Lay.
“Tiap minggu secara rata-rata, satu orang perempuan Australia dibunuh pasangan atau mantan pasangannya. Victoria jauh dari kebal…Kepolisian Victoria menerima 60.000 laporan insiden keluarga tahun lalu. Kebanyakan diantaranya melibatkan kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dan anak…” ucapnya dalam video dukungannya terhadap gerakan One Billion Rising.
Aksi ini diadakan juga di tujuh kota di Indonesia. Di Jakarta, menari bersama kembali diadakan di Monumen Nasional dan diikuti sekitar 200 pendukung.
Salah satu penggerak One Billion Rising di Melbourne, Tamar Spatz, bercerita bahwa tema tahun ini adalah ‘rise for justice’, atau ‘bangkit demi keadilan.’
Keadilan bagi korban kekerasan
Di Melbourne, tema ini dimaknai dengan seruan untuk meningkatkan keadilan bagi korban kekerasan.
“Di Melbourne, kami mencermati halangan-halangan yang dihadapi perempuan saat mencari keadilan menyusul mengalami kekerasan atau eksploitasi. Kami menyoroti cara-cara menghancurkan halangan itu. Mungkin dengan cara meningkatkan ketersediaan penerjemah bagi proses-proses peradilan, agar perempuan yang tak terlalu memahami proses dalam pengadilan bisa mendapat dukungan untuk lebih bisa membuat keputusan…” ucapnya.
Organisasi inTouch bergerak dalam bidang kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa penduduk dengan latar belakang budaya dan bahasa berbeda di negara bagian Victoria.
Menurut organisasi ini, perlu lebih banyak penerjemah yang ahli dalam bidang hukum untuk membantu perempuan migran dengan latar belakang budaya berbeda dan tidak berbicara bahasa Inggris, guna membantu para perampuan itu melalui berbagai proses hukum seperti pelaporan pada polisi, pengadilan dan sebagainya.
Menurut data dari inTouch, pada tahun 2011 dan 2012 lalu, tim layanan langsung organisasi ini mendapat permintaan layanan dari 894 klien. Jumlah ini 30 persen lebih banyak dibanding kapasitas layanan mereka.
Dari segi negara asal klien mereka, yang terbanyak berasal dari Vietnam, yaitu 123 klien. Kedua adalah yang berasal dari China, yaitu 61. Dari Indonesia ada 13 klien.
Seolah senada dengan keprihatinan terhadap perempuan migran yang mengalami kekerasan, aksi One Billion Rising di Melbourne pun diwarnai keragaman budaya.
Selain tari ‘resmi’ One Billion Rising berjudul ‘break the chains’ dan tari modern atau hip-hop, ditampilkan pula tari ala Vietnam, tari a la Bollywood, dan tari modern dari kelompok Gabriela, yaitu organisasi perempuan Filipina di Australia.
Sementara itu, sang perempuan korban kekerasan asal Mauritius kini telah menetap di Australia dengan anaknya, dan saat ini tengah menjalani proses perceraian dengan suaminya. Ia mengaku ingin bergabung di Federation Square untuk menari, namun jadwalnya terlalu padat dan tempat tinggalnya jauh dari pusat kota, tempat aksi digelar.
“Saya bangkit lagi sekarang. Tuhan membantu saya. Sekarang saya bekerja, dan belajar, dan dua anak saya juga berprestasi di sekolah. Saya merasa damai dan saya tak mau melihat suami saya lagi. Saya tak ingin dia tahu saya tinggal di mana,” ceritanya,
“Saya lebih kuat. Saya melihat ke depan, tidak ke belakang.”