REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Didin Hafidhuddin
Salah satu hadis sahih masyhur di kalangan ulama penulis kitab yang selalu menjadi pembuka tulisannya adalah hadis berbunyi “kullu amrin dzii baalin laa yubdau bi bismillah fahua abtar au aqtha”, Segala urusan penting yang tidak diawali bismillah tidak atau kurang keberkahannya.
Mungkin inilah salah satu rahasia utamanya, di samping yang lainnya, kitab-kitab klasik karya para ulama salafus salih walaupun ditulis ratusan tahun yang lalu, tetap dianggap aktual dan menarik untuk dipelajari.
Kitab fikih Al Um sebagai salah satu contoh karya Imam Syafi"i (wafat 204 H) yang sudah berusia kurang lebih 1.200 tahun tetap dijadikan salah satu rujukan utama dalam menjawab berbagai persoalan fiqhiyyah masa kini.
Di samping itu, memang kitab-kitab fikih klasik tersebut pantas dijadikan rujukan karena isinya sangat prospektif, melampaui zaman dan waktu ketika buku tersebut ditulis.
Menyertakan asma Allah, bagi kaum Muslimin merupakan suatu keniscayaan sekaligus kebutuhan. Baik pada pekerjaan rutin dan personal, seperti makan, minum, berpakaian, tidur, bangun tidur, terlebih lagi pada kegiatan yang diharapkan memiliki makna strategis untuk kepentingan bersama dalam skala lebih luas.
Seperti tersebut di atas, menulis buku dan karya ilmiah. Selain itu, memimpin rapat untuk membahas dan membicarakan masalah pendidikan, sosial ekonomi, budaya, dan politik yang berkaitan dengan kepentingan bersama.
Apalagi para pejabat publik, seperti pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif yang keputusannya berkaitan dengan nasib seseorang atau suatu bangsa, tentu menyertakan asma Allah pada setiap kata yang diucapkannya atau setiap ketukan palunya merupakan sesuatu hal yang sangat penting, strategis, dan menentukan.
Ada beberapa hal strategis dan fundamental mengapa kita sangat dianjurkan menyertakan asma Allah pada setiap kegiatan yang dilakukan.
Pertama, memotivasi sekaligus mendorong agar perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan baik dan benar, tidak melanggar ketentuan-Nya, tidak mengharamkan yang halal, atau sebaliknya.
Menyertakan asma Allah bukanlah sekadar formalitas supaya kelihatan nuansa religiusnya, tetapi lebih substansial agar semua perilaku kita merupakan refleksi dan manifestasi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Dengan menyertakan asma Allah, seperti mengucapkan bismillah, sesungguhnya kita sedang menarik kegiatan yang kita lakukan pada nilai-nilai tauhid sekaligus menghilangkan sekularisasi dan dikotomi antara agama dan bukan agama, antara dunia dan akhirat.
Kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Semuanya harus benar, baik, dan sesuai dengan ketentuan-Nya, serta semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya (QS az-Zalzalah [99] : 8).
Kedua, menggambarkan doa agar Allah menguatkan niat dan motivasi kita sekaligus memudahkan segala urusan. Basmalah, hamdalah, insya Allah, atau kalimat lainnya menggambarkan kerendahan hati bahwa manusia boleh merencanakan, tetapi Allah yang menentukan.
Sehingga, ketika berhasil dan hasilnya sesuai dengan harapan, tidak akan melahirkan kesombongan. Apabila belum berhasil, tidak akan menyebabkan frustrasi atau putus asa. Dan, inilah makna hakiki dari tawakal kepada Allah. Wallaahu"alam bish shawab.