Rabu 19 Feb 2014 13:57 WIB

Dari Kejenuhan Politik, Dakwah Dimulai (2-habis)

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri (depan) didampingi jajaran pengurus menyampaikan keterangan pers usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri (depan) didampingi jajaran pengurus menyampaikan keterangan pers usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta.

Oleh: Afriza Hanifa

Pada 1967, setelah Soeharto enggan melakukan pembenahan Masyumi, para pemimpin partai Islam tersebut menggelar pertemuan di Masjid Al-Munawarrah, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta.

Menghadapi kenyataan Masyumi telah runtuh, para tokoh  tersebut mulai jenuh dengan dunia perpolitikan yang pasang surut. Namun, mereka masih berkeinginan untuk aktif dalam menyuarakan Islam.

Maka, dari pertemuan yang semula hanya acara silaturahim tersebut kemudian menjadi diskusi yang melahirkan DDII. Pada 26 Februari 1967, DDII pun resmi berdiri.

Musyawarah alim ulama itu memandang perlu membentuk suatu wadah yang kemudian dijelmakan dalam sebuah Yayasan yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, disingkat Dewan Dakwah.

"Pengurus pusat yayasan ini berkedudukan di Ibu Kota negara, dan dimungkinkan memiliki perwakilan di tiap-tiap ibu kota daerah tingkat I serta pembantu perwakilan di tiap-tiap ibu kota daerah tingkat II seluruh Indonesia,” tulis situs resmi DDII.

Dewan pengurus pertama organisasi ini dipimpin oleh Mohammad Natsir dan HM Rasjidi, serta didukung tokoh-tokoh terkemuka Masyumi dan ulama reformis-modernis, seperti Prawoto Mangkusasmita, Osman Raliby, Zainal Abidin Achmad, dan beberapa anggota lain.

Saat DDII berdiri, M Natsir pernah berkata, “Kalau dulu kita berdakwah lewat politik maka sekarang ini kita berpolitik lewat dakwah,” ujarnya yang pernah menjadi bagian dalam Komite Nasional Indonesia saat negeri ini merdeka.

Apa yang dilakukan M Natsir dan kawan-kawan dianggap Nurcholis Madjid sebagai sebuah terobosan baru. Menurutnya, perjuangan di Indonesia tidak hanya melalui jalur politik. Perjuangan melalui dakwah mempunyai dampak yang lebih panjang dan lebih lestari.

Sporadis

Sebelum DDII lahir, menurut Thohir Lut, dakwah Islam dinilai berjalan sporadis, kurang koordinasi, dan terlalu konvensional. Dengan berdirinya sebuah lembaga yang berbentuk yayasan maka dakwah Islam pun mulai terkoordinasi. Apalagi, tujuan umum DDII memang untuk menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah Islam di Indonesia.

“Visi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami dengan menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah di Indonesia,” tulis web resmi Dewan Dakwah.

Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 mengatakan, dengan berdirinya DDII maka mulai pamorlah istilah dakwah di seluruh penjuru nusantara.

Para intelektual Muslim mulai meyakini bahwa dakwah merupakan jawaban atas modernisasi pemerintah dan sikap frustrasi politik Muslimin. Dakwahlah cara pendekatan yang amat efektif untuk mencapai persatuan umat, baik secara politik maupun agama.

DDII pun kemudian memosisikan diri sebagai sumber utama dan agen konsultasi bagi dakwah Islam yang efektif di masyarakat modern. DDII bereksperimen dengan mengumpulkan para pemimpin pesantren, para aktivis Islam dari universitas-universitas dan tokoh-tokoh sosial.

Dalam perkembangannya, DDII kemudian mendapatkan donator dan akses ke lembaga-lembaga di Timur Tengah. Hal tersebut memungkinkan DDII untuk membiayai aktivitas-aktivitas dakwah serta mengirim para pelajar Indonesia untuk melanjutkan belajar ke Timur Tengah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement