Oleh: Afriza Hanifa
Umat memerlukan dai yang mumpuni memberikan pendidikan agama.
Menjadi dai bukanlah hal mudah. Tugas moralnya amat berat untuk diemban sembarang orang. Apalagi jika harus bertugas di tengah hutan belukar, di pesisir yang jauh dari peradaban, di rimba yang untuk sekadar hidup pun amat tak layak dan tak memadai.
Merekalah orang-orang yang rela mengabdikan diri pada agama, bukan sekadar muncul di televisi sambil melucu seadanya. Mereka inilah yang direkrut dan dikader Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Namun tentu saja, tak banyak orang yang rela mengabdikan diri untuk dakwah. Bahkan, untuk mencetak dai yang fakih beragama pun amat sulit. Mengatasinya, DDII memiliki sebuah sekolah tinggi yang siap mencetak para juru dakwah.
Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammad Natsir, demikian nama perguruan tinggi tersebut. Kaderisasi dai dimulai dari pendidikan sarjana di sana. Setiap angkatan dapat menampung 30 hingga 40 mahasiswa. Merekalah para calon dai Indonesia.
Tak hanya S-1, sejumlah dai pun kemudian dikirim untuk melanjutkan studi S-2 dan S-3. Semua biaya pendidikan ditanggung DDII yang menjalin kerja sama dengan Baznas dan Universitas Muhammadiyah. Saat lulus, mereka bergelar magister dan doktor serta tetap dikirim ke seluruh penjuru Indonesia.
Selain dari perguruan tinggi, DDII juga melakukan kaderisasi melalui kegiatan pendidikan atau kursus kader. Kursus tersebut memiliki masa belajar tiga hingga empat bulan. Setiap tahun terdapat 60 kader yang ikut serta program tersebut.
Dalam melakukan kaderisasi, DDII selalu berusaha melalui jalan terbaik. Mereka berhati-hati terhadap kekeliruan metode dakwah Islam. Tanpa paksaan, itulah syarat utama pengaderan. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Amlir Syaifa Yasin.