Kamis 20 Feb 2014 05:47 WIB

Sepucuk Surat dari Sang Imam

Muslimah bekerja di luar rumah (ilustrasi).
Foto: Antara/Septianda Perdana
Muslimah bekerja di luar rumah (ilustrasi).

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Sebuah surat berisikan petuah bijak mampu mengetuk hati yang kering kerontang.

Alkisah, sebuah keluarga hidup serbakekurangan di Tanah Arab. Usut punya usut,  pemicu kondisi terpuruknya keluarga tersebut, yaitu sang kepala keluarga, yang bernama Abbad, sangat pemalas.

Ia tak pernah mau bekerja. Sehari-hari ia menghabiskan waktu untuk bersantai-santai dan bersenang-senang di rumah. Terkadang, istrinyalah yang disuruh untuk bekerja membanting tulang demi keluarganya.

Suatu hari, Imam Abu Hanifah lewat di depan rumah Abbad. Tampak dari jauh Sang Imam tersebut berjalan ke arah Abbad, ia pun telah mempersiapkan sebuah skenario agar bisa memperoleh santunan dari Sang Imam.

Sambil menangis tersedu-sedu, dengan suara keras Abbad pun mengeluh. “Nasibku sungguh malang sekali. Akulah orang termalang di dunia ini. Sejak pagi aku dan keluargaku belum makan sesuap nasi pun. Badanku pun menjadi lemah. Semoga ada orang yang mendengar rintihanku ini dan memberi kami sedekah,” ujarnya.

Mendengar pengaduan tersebut, Abu Hanifah pun tersentuh. Ia ingin menolong keluarga malang tersebut, tapi ia ragu karena tahu gelagat Abbad yang sangat malas bekerja tersebut.

Abu Hanifah pun akhirnya punya ide. Ia kembali pulang ke rumahnya dan memutuskan untuk membantu keluarga Abbad.

Abu Hanifah mengambil uang dan makanan, lalu dibungkus dengan sebuah kertas. Sebuah surat untuk Abbad tertulis pada lembaran kertas itu.

Isi surat berbunyi: “Kawan, kau tak perlu mengeluhkan nasibmu hingga seperti itu. Selalu ingatlah pada kemurahan Allah dan jangan pernah lelah memohon padaNya. Janganlah masuk dalam lembah keputusasaan, tetaplah berusaha kawan.

Sesampainya di kediaman Abbad, Abu Hanifah meletakkan bungkusan beserta surat tersebut tepat di depan rumah.

Sang pemalas pun melihatnya, ia kemudian mengambil bungkusan tersebut dan bergembira skenario mengemisnya berhasil. Surat tersebut dibacanya, tapi tak diperhatikannya lebih lanjut. Dibuang begitu saja.

Waktu pun berjalan. Suatu hari Abu Hanifah lewat lagi di rumah Abbad. Ia mengira Abbad telah bertobat, tapi ternyata dugaannya salah. Ia masih tetap mendengarkan skenario keluhan sang pemalas tersebut.

Abu Hanifah tak menyerah. Ia merasa sosoknya sebagai imam yang pandai berdakwah pun diuji. Menurutnya, ini adalah ujian baginya. Berdakwah di jalan Allah SWT memang terkadang tak mudah.

Sang Imam pun kembali ke rumahnya dan melakukan hal yang sama, menyiapkan uang, makanan, dan sepucuk surat bagi sang pemalas tersebut.

Kali ini, ia membuat surat yang lebih panjang. Tujuannya agar hati Abbad tersentuh dan bertobat. Ia kemudian meletakkan bungkusan tersebut di jendela rumah Abbad.

Dengan gembira Abbad pun mengambil bungkusan tersebut. Makanan dan uang. Selembar surat tersebut dipegangnya, kemudian dibacanya.

“Kawan, janganlah memohon seperti itu. Bukan begitu cara berikhtiar dan berusaha. Memohon seperti ini setiap hari, itu berarti Anda malas, berarti Anda telah putus asa pada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tak ada yang ridha melihat orang malas seperti dirimu, yang tak mau bekerja untuk keselamatan dirinya,” kata Abu Hanifah dalam surat tersebut.

Tampaknya kali ini isi surat tersebut sedikit menggugah jiwa Abbad. Ia pun merenungi isi surat Abu Hanifah. Ia kemudian meneruskan membaca surat itu.

Kawan, jangan Anda teruskan perbuatan demikian. Hendaklah Anda bekerja, meski gajinya kecil asalkan halal tak mengapa. Bekerjalah, jangan hanya berdiam diri di rumah. Hanya Allah yang bisa memberi rezeki, tetapi rizki tersebut tak mungkin datang dengan sendirinya, Anda harus mencarinya kawan. Allah tak akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja.”

Dada Abbad mulai sesak. Ia merasa ulu hatinya terkena cambuk. Dadanya sesak dan hampir menangis saat membaca surat tersebut. Ia pun menghela napas dan melanjutkan membaca surat tersebut.

Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Berikhtiarlah segera kawan, carilah pekerjaan yang halal dan yang membuatmu nyaman. Insya Allah, Anda akan mendapatkan pekerjaan jika tak lekas putus asa. Aku akan terus mendoakanmu kawan, agar segera mendapatkan pekerjaan.”

Bagaikan tersambar petir, selembar surat tersebut membuat Abbad sadar kemalasan yang dilakukannya selama ini salah dan tak akan membebaskannya dari kemiskinan dan kondisi serbakekurangan.

Keesokan harinya, Abbad pun keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Surat itu pun mengubah dirinya. Ia kini semakin tekun beribadah dan mulai giat bekerja, meski gaji yang diterimanya kecil, tak sebesar uang dan makanan yang diterimanya kala ia merintih dan mengeluh pada orang-orang kaya yang melewati rumahnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda tidak ada seorang pun yang memakan makanan yang lebih baik daripada dia memakan makanan hasil dari kerja kerasnya sendiri.

Abu Hanifah berhasil dalam dakwahnya, meski dilakukannya secara tidak langsung tanpa bertatap muka dan bertutur kata, lewat sepucuk surat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement