REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan surat permintaan penundaan pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP pada presiden dan DPR RI. KPK melihat adanya poin krusial yang berpotensi mengganggu upaya pemberantasan korupsi.
Wakil Ketua KPK Zulkarnain mencontohkan mengenai kejahatan korupsi yang dijadikan tindak pidana umum dalam RUU KUHP. "Kalau dimasukkan ke KUHP sebagai tindak pidana umum berarti mundur dari sisi perundan-undangan, kenapa? Karena dulu bagian tindak pidana korupsi dari KUHP dikeluarkan menjadi tindak pidana khusus," kata dia, di kantor KPK, Rabu (19/2).
Dengan menjadi tindak pidana khusus, Zulkarnain menyebut, ada pengembangan. Misalnya, ia mengatakan, hukuman diperberat dan cakupannya diperluas. Kemudian, menurut dia, mekanisme pembukatian diperkuat, ada terbalik dan terbatas. "Kalau dikembalikan ke KUHP berarti mundur dari sisi perundangan," ujar dia.
Zulkarnain mengatakan, Indonesia merativikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi (UNCAC). Ini, menurut dia, memperlihatkan korupsi sebagai kejahataan transnasional yang juga membutuhkan kerja sama internasional. Karena itu, menurut dia, kejahatan korupsi harus tetap menjadi tindak pidana khusus. "Kalau tidak dijadikan tindak pidana khusus berarti terlambat menyesuaikan dengan perkembangan dunia yang canggih," kata dia.
Menurut Zulkarnain, RUU KUHP dan RUU KUHAP masih memerlukan pembahasan mendalam dengan melibatkan berbagai pihak. Ia mengatakan memerlukan waktu yang cukup untuk membahas undang-undang yang sangat penting. Salah satunya mengenai korupsi. "Perkara-perkara yang ditangani makin komplit modusnya, makin canggih, nekad makin luar biasa, apa mungkin ditangani secara biasa?" ujar dia.