Kamis 20 Feb 2014 12:21 WIB

Memadukan Budaya Islam dan Jawa (2-habis)

Masjid Agung Keraton Surakarta (ilustrasi)
Foto: Republika/Andika Betha
Masjid Agung Keraton Surakarta (ilustrasi)

Oleh: Afriza Hanifa

Ketika kerajaan Demak masih kokoh, Islam disebarkan secara puritan. Namun demikian, para penguasa Jawa yang kental dengan tradisi lokal, seperti Hadiwijaya dan Senopati, memantapkan Kerajaan Islam bergeser dari wilayah pesisir ke wilayah pedalaman yang masih bergelut secara mengakar dengan budaya Jawa agraris-tradisional zaman Majapahit.

Oleh karena itu, sinkretisme Islam di wilayah pedalaman lebih menguat. Terlebih setelah penguasa Mataram (Sultan Agung) menghancurkan pusat-pusat kota peradaban Islam puritan di wilayah pesisir.

Dalam sejarah, Sultan Agung memang tercatat lebih cenderung pada sinkretisme. Selain memindahkan pusat peradaban Islam ke daerah pedalaman, sultan juga tak lagi dekat dengan keturunan Walisongo.

Kesultanan Mataram juga membiarkan para ulama yang menganut paham mistis. Selain itu, Sang sultan pernah melakukan zaiarah ke Tembayat. Ia juga memilih menggunakan kalender Saka ketimbang Islam.

Ziarah agung

Ziarah agung pada 1633 M tampaknya merupakan titik balik dalam Islamisasi di Jawa. Sampai saat ini, ketika Islam telah menyebar di seluruh pulau Jawa (berkat Islamisasi Demak), tampaknya dinasti Mataram masih belum menganut agama baru itu dengan antusiasme penuh.

Paling tidak, kerajaan ini masih menggunakan sistem penanggalan solar Hindu-Saka untuk acara-acara kerajaan, bukannya sistem penanggalan-lunar Islam.

“Dan di antara musuh-musuh utamanya adalah keturunan Sunan Giri yang dikenal sebagai salah satu wali Islam yang paling senior di Jawa. Ziarah Sultan Agung ke Tembayat meniggalkan bukti yang mengesankan bahwa sekarang Agung berusaha menempatkan dinasti Mataram di pusat dan bukannya di tempat yang jauh dari proses Islamisasi,” ujar Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Senada, Mark R Woodward dalam Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan menuturkan, tradisi tekstual Mataram begitu memelihara sintesis Jawa modern. Banyak interpretasi sufi mengenai Islam yang digunakan sebagai suatu aksioma untuk mengatur, menjelaskan, dan menanamkan makna ke dalam metafisika, mitos, dan ritual Hindu-Jawa.

Mereka menjadikan unsur syirik, sihir, serta epik-epik hindu dan teori kesaktian lain dapat masuk kedalam aturan kosmologis dan teologis Islam.

Mataram melakukan proses Islamisasi yang mensyaratkan sejumlah prinsip, seperti teori mengenai sihir, tauhid, kewalian, dan jalan mistik, harus diseleksi untuk membuat kategori-kategori pengetahuan ensiklopedik yang bisa didefinisikan sebagai “Hindu”.

Kondisi masyarakat Muslim era Mataram mungkin sangat pas dengan teori Clifford Geertz yang memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama, yakni santri yang merupakan kalangan Muslim ortodoks, yang menerapkan syariat Islam murni; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; dan abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement