Jumat 21 Feb 2014 10:11 WIB

Jalan Hidup Salikin: Ma'rifatullah dan Ma'rifatunnafs (2-habis)

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Ibnu 'Arabi pernah mengungkapkan, “Jika engkau bicara soal ketakterbandingan, engkau telah membatasi. Jika engkau bicara soal kesempurnaan, engkau juga membatasi. Jika engkau bicara soal keduanya, engkau tepat mengenai sasaran. Engkau seorang pemimpin dan syekh dalam ilmu-ilmu makrifat”.

Ungkapan serupa juga pernah disampaikan oleh Khaja Abdullah Anshari, “Tak seorang pun menegaskan keesaan Zat Mahaesa, sebab semua orang yang mengesakan-Nya sesungguhnya mengingkari-Nya. Tauhid orang yang melukiskan-Nya hanyalah pinjaman, tak diterima oleh Zat Mahaesa.

Tauhid atas diri-Nya adalah tauhid-Nya. Orang yang melukiskan-Nya sungguh telah sesat.” Untuk memahami lebih jauh tentang persoalan ini, lihatlah artikel terdahulu “Ketakterbandingan dalam Keserupaan”.

Jika seseorang sudah mampu meningkatkan kesadarannya ke tingkat ma'rifah, ia disebut muta'arrifah. Akan tetapi, jika seseorang membiarkan dirinya hanyut di dalam kelalaian dan kealfaan (ghafil), main-main (lahi), dan memuja sesuatu selain Allah (musyrik). Orang yang mencapai tingkat ma'rifatunnafs dan atau ma'rifatullah sudah mampu melakukan pengembangan berbagai potensi kecerdasan standar yang dianugerahkan Tuhan dalam diri manusia.

Potensi kecerdasan standar di sini ialah kecerdasan diperoleh manusia semenjak zaman azali yang “di-launching” oleh Allah: “Alastu birabbikum? Qalu bala (Apakah engkau mengakui keberadaan Tuhanmu? Dijawab: Iya).

Ilustrasinya seperti notebook, handphone, atau mobil yang baru dibeli di distributor. Meskipun baru, tetapi sudah diprogram. Begitu dihidupkan, langsung berfungsi. Aksesori dan perlengkapan lainnya bisa diusahakan dan dikembangkan sendiri oleh pemiliknya.

Jadi, manusia dalam pandangan tasawuf bukan makhluk “bodong” atau kertas kosong yang tidak punya apa-apa kemudian diisi oleh pemiliknya, tetapi sudah memiliki sistem kecerdasan standar.

Para sufi melihat manusia sebagai pelupa, abai (gafil), dan sadar atau ingat (dzakir). Berbeda dengan teolog atau mutakalimin, filsuf, dan kalangan ahli fikih yang memandang manusia makhluk bodoh (jahil) dan pintar ('alim). Menurut para sufi, manusia melakukan dosa karena ia lupa.

Di sinilah urgensi wahyu untuk mengingatkan kembali manusia. Menurut teolog/mutakalimin, filsuf, dan kalangan fuqaha, boleh jadi ia tidak tahu atau lupa. Untuk itu, ia perlu belajar atau diajar dan diingatkan kembali oleh wahyu.  

Ma'rifatunnafs ketika seseorang sudah rela dengan segala apa yang terjadi pada dirinya tampa membedakan apakah itu menurut orang awam sebagai musibah atau nikmat. Dengan kata lain, nikmat dan musibah dirasakan sebagai kesempurnaan seseorang yang berada dalam maqam al-jam'iyyah al-Ilahiyyah/define sinteses (akan dibahas secara khusus dalam artikel mendatang).

Ma'rifatullah, menurut Suhrawardi, ialah orang yang sudah mampu menyadari, pertama, setiap akibat yang diperolehnya berasal dari Sang Pelaku Mutlak (Allah). Kedua, setiap akibat yang berasal dari Sang Pelaku Mutlak merupakan aktualisasi dari sifat-Nya dalam setiap keagungan sifatnya.

Ketiga, memahami maksud dan tujuan Allah pada setiap keagungan sifat-Nya. Keempat, memahami sifat ilmu Allah dalam ma'rifah-nya sendiri, bukan melalui ilmu analitis. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ma'rifatullah sesungguhnya tidak lain adalah ma'rifatunnas. Wallahua'lam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement