Jumat 21 Feb 2014 10:31 WIB

KH Muhammad Kholil, Sang Guru Bangsa (1)

KH Muhammad Kholil.
Foto: Blogspot.com
KH Muhammad Kholil.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Muhammad Kholil menjadi ulama kebanggaan bangsa ini. Selain cerdas dalam ilmu-ilmu agama, terutama dalam bidang fikih, ia juga termasuk salah seorang pejuang.

Ia sangat menentang penjajahan Belanda. Sebab, selain tidak manusiawi, Belanda juga bukan bagian dari Muslim sehingga tak patut memimpin rakyat Indonesia yang sebagian besar Muslim.

Ia lahir pada Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, yang berada di ujung barat Pulau Madura.

Ia berada dalam lingkungan Islami karena lahir dari seorang ulama terkemuka di daerah itu, yaitu Abdul Latif. Jika ditelusuri garis keturunannya lebih lanjut, ia masih punya darah dari Sunan Gunung Jati.

Dengan didikan orang tuanya yang seorang ulama besar, sejak kecil Kholil ditempa dengan ilmu-ilmu agama. Ayahnya punya cita-cita anaknya ini kelak akan menjadi seorang ulama terkemuka bangsa ini.

Kepercayaan ayahnya ini pun terbukti. Kholil kecil sudah memperlihatkan kecerdasannya dalam ilmu agama. Sifat-sifat seorang pemimpin pun telah dimilikinya, misalnya, tegas, berani membela yang benar, jujur, dan tidak sombong.

Kholil kecil pun terlihat selalu haus akan ilmu, terutama ilmu fikih dan nahwu. Dalam usia yang masih hijau, ia sudah bisa menghafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu nahwu). Setelah cukup umur, orang tua Kholil pun kemudian mengirimkannya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Kholil muda kemudian berkesempatan untuk belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia kemudian juga menimba ilmu ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.

Selama menjadi santri, Kholil telah menghafal beberapa matan (tata bahasa Arab), seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Ia juga seorang hafiz Alquran. Ia mampu membaca Alquran dalam Qiraat Sab'ah.

Ia juga lama menuntut ilmu di Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri yang berjarak tujuh kilometer dari Keboncandi.

Ia sengaja setiap hari menempuh perjalanan jauh hanya demi belajar kepada Kiai Nur Hasan ini. Sebab, ia mengagumi akan ilmu-ilmu dan cara mengajarnya.

Namun, kiai yang menjadi gurunya ini masih punya hubungan saudara dengan keluarganya. Ia memilih untuk tidak tinggal bersama gurunya ini karena tak ingin merepotkan keluarga serta menunjukkan sikapnya yang selalu ingin mandiri.

Ia tidak pernah mengeluh karena menempuh perjalanan jauh setiap hari dengan berjalan kaki. Justru, ia menghabiskan waktu saat menempuh perjalanan jauh ini dengan membaca surat-surat dalam Alquran, terutama surah Yasin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement