BOGOR -- Jaringan Nasional Advokasi Pembantu Rumah Tangga (Jala PRT) menegaskan, dugaan penyekapan yang dilakukan istri Brigadir Jenderal Polisi (purnawirawan) Mangisi Situmorang (MS), terhadap para pembantunya adalah perbudakan.
Kasus itu terbongkar saat Yuliana Lewer (19), pembantu di keluarga Brigjen MS melapor ke polisi jika ia menerima tindakan kekerasan selama tiga bulan bekerja. Ia juga mengaku tidak dibayar dan memilih melarikan diri dari rumah majikannya di Jalan Danau Matana No 18 Blok C5, Kompleks Duta Pakuan, Tegal Lega, Kota Bogor.
Koordinator Nasional Jala PRT, Lita Anggraini mengaku mendapat laporan, selama bekerja YL dan 14 pembantu lainnya kerap menerima tindak kekerasan, eksploitasi, hingga penyekapan. Tindakan itu menurut Lita sudah masuk kategori perbudakan. "Kami mendesak Polri untuk mengambil tindakan dan membongkar kasus ini atas keluarga majikan dan agen penyalur hingga tuntas," ucapnya, Jumat (21/2).
Pihaknya juga mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan UU Perlindungan PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 Kerja Layak PRT. "Hendaknya DPR dan Pemerintah tidak berpangku tangan menunggu jumlah kasus meledak," tutur Lita.
Saat ini pembahasan RUU PPRT mandek di Badan Legilatif DPR RI, meski sudah berjalan selama sepuluh tahun. "Artinya DPR sengaja membiarkan perbudakan PRT di dalam negeri sendiri," ujarnya.
Berbicara terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Agus Rianto menyatakan Polres Kota Bogor sudah memeriksa 21 saksi. Dari 21 saksi, 17 orang termasuk YL merupakan pembantu rumah tangga yang bekerja di kediaman M dan MS dan semuanya merupakan perempuan. Polisi juga sudah memeriksa ketua RT dan RW setempat, keluarga dan istri Brigjen MS yang bakal diperiksa pekan depan.
"Yang saat ini dipermasalahkan para saksi atau pun para korban yang melapor itu kan Ibu MS, apakah Bapak MS ada keterkaitan atau tidak nanti kita lihat dari pemeriksaan Polres Bogor," kata dia di Jakarta, Jumat (21/2).
Agus mengatakan sejauh ini dilakukan pemeriksaan visum terhadap delapan pembantu yang merasa diperlakukan tidak sesuai. "Kita minta visum karena mereka merasa pernah menderita akibat dugaan tindak kekerasan untuk memenuhi keinginan masyarakat yang membutuhkan keadilan," ucap dia.
Saat ini, Polresta Bogor telah mengumpulkan 17 orang pembantu yang pernah bekerja di rumah Brigjen MS. Dari 17 pembantu itu, tiga orang masih di bawah umur, yakni 18 tahun dan satu orang sudah menikah. "Jadi, kalau ada info yang beredar 12 atau 13 orang, menurut info yang saya dapatkan itu salah ada 17 orang," kata Agus.
Namun keluarga Brigjend MS membantah ada kasus penganiayaan dan penyekapan. Victor Nadapdap juru bicara keluarga Brigadir MS menegaskan penganiayaan terhadap YL tidak pernah terjadi. Sebab, menurutnya tidak ada lantaran hampir setiap hari para pekerja bisa beraktifitas keluar dan masuk rumah. "Mereka bisa beli baso, mereka juga bisa beli roti. Bahkan pedagang roti juga bisa masuk ke rumah. Buang sampah, dan mencuci mobil," ujar dia kepada wartawan di Hotel Mirah, Kota Bogor, Kamis (20/2).
YL, kata Victor, dibawa pemilik rumah dari kawasan Pulo Gadung dan baru bekerja tiga bulan di rumah Brigadir MS. Menurut Victore, sejumlah pekerja di rumah MS diperoleh dari Pulau Gadung. Termasuk YL bersama empat pekerja lainnya. Terkait tidak dibayarkan gajinya, menurut Victor saat membawa YL, Brigadir MS membayar masing-masing pekerja satu juta rupiah kepada penyalur di Pulo Gadung. Sehingga gaji yang dibayarkan untuk memotong uang pangkal tersebut. "Jadi mereka akan diberikan setelah satu tahun, selama itu mereka kan diberi uang jajan jadi mereka bisa belanja," katanya.