Oleh: Mohammad Akbar
Semasa memimpin perang pada rentang 1881-1891, Belanda harus melakukan empat kali
pergantian gubernur di Aceh.
Mulai dari Abraham Pruijs van der Hoeven hingga Henri Karel Frederik van Teijn. Semasa memimpin perang, Saman dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah mau berkompromi dengan pihak Belanda.
Sementara itu, gelar resmi sebagai Teungku Cik di Tiro mulai disandang oleh Saman pada 1887 M. Ia menyandang gelar tersebut setelah sang paman, Teungku Cik Dayah Cut yang tinggal di Tiro, wafat.
Semua ikhtiar dan perjuangan Teungku Cik di Tiro dalam menegakkan Islam di Serambi Makkah berakhir pada Januari 1891 M. Ia wafat setelah makanannya dibubuhi racun oleh seorang wanita suruhan penguasa lokal yang menjadi kaki tangan Belanda.
Teungku Cik di Tiro boleh wafat, namun gelora untuk menegakkan syariat Islam di bumi Aceh tak pernah surut. Bahkan, semangat itu terus bergelora hingga abad berikutnya.
Terinspirasi hikayat Perang Sabil
Tak hanya keteguhan hati dan keberanian yang membuat Teungku Cik di Tiro berhasil melawan penjajah. Faktor penunjang lainnya adalah inspirasi dari Hikayat Perang Sabil atau Hikayat Prang Sabi.
Hikayat ini berbentuk karya sastra. Pengarangnya adalah Teuku Chik Pante Kulu. Ia merupakan kawan akrab Teungku Cik di Tiro. Semasa remaja, keduanya pernah sama-sama belajar ilmu agama di Dayah Tiro, yang dipimpin oleh Teungku Cik Muhammad Amin Dayah Cut.
Dalam buku Kebudayaan Aceh dalam Sejarah tertulis bahwa Teuku Cik Pante Kulu ini sangat menggemari karya sastra, terutama dari zaman Nabi Muhammad. Di antara sastrawan yang menjadi rujukannya adalah Hasan bin Sabit, Abdullah bin Malik, dan Kaab bin Zubair. Pemikirannya juga banyak dipengaruhi oleh para pemimpin gerakan pembaru Islam, seperti Muhammad Abdul Wahab dan Said Jamaluddin al Afgani.
Dari referensi pemikiran dan karya sastra di masa Nabi itulah kemudian lahir sebuah karya sastra yang sangat fenomenal pada masa itu, yakni Hikayat Perang Sabil. Hikayat ini, seperti tertulis di dalam buku berjudul Aceh, telah memantapkan langkah para pemuda Aceh dalam berperang melawan Belanda.
Zentgraft, mantan serdadu Belanda yang beralih profesi menjadi wartawan, mengatakan, Hikayat Perang Sabil telah menjadi momok yang sangat ditakuti Belanda. Menurutnya, belum pernah ada karya sastra di dunia yang mampu membakar sisi emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali Hikayat Perang Sabil.
“Kalaupun ada karya sastrawan Prancis, La Marseillaise, di masa Revolusi Perancis, dan Common Sense di masa perang kemerdekaan Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh Hikayat Perang Sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu,” tulis Zentgraft sebagaimana dilansir situs www.ikhwanesia.com.