Oleh: Nashih Nashrullah
Syekh ad-Dahwlawi mengatakan, jika ujung bagian bawah tersebut terkena najis di jalanan atau pelataran, misalnya, lalu terseret dan tercampur dengan tanah atau debu yang lain di tempat berbeda maka dianggap suci dengan sendirinya.
Ini karena gesekan yang terjadi antardebu dan najis. Dan, kondisi semacam itu dianggap sebagai //ma’fu ‘anhu atau dispensasi.
Imam Muhammad bin al-Hasan berpendapat, najis itu tak jadi soal selama tidak menempel dengan takaran sebesar uang dirham. Lebih dari ukuran itu maka harus tetap disucikan dengan mencucinya. Pendapat yang sama dikuatkan pula oleh Imam Abu Hanifah.
Bagaimana menyucikan baju yang terkena najis itu? Prof Zaidan kembali menjelaskan, menghilangkan najis yang berupa zat basah, cucilah bagian baju yang terkena najis dengan air yang suci.
Tak cukup hanya dengan memercikkan atau mengalirkan air, tetapi basuh dan kucek objek yang dimaksud. Jika proses tersebut sudah dilakukan maka peras bagian yang terdapat najisnya.
Bila najis itu berasal dari kotoran babi atau anjing, penyuciannya ditempuh sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Sebagian ulama masa kini memperbolehkan mengganti tanah itu dengan sabun. Ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari Muslim.
Najis yang bukan dari dua kategori di atas ada banyak versi pendapat. Menurut Mazhab Hanbali, penyuciannya seperti yang berlaku dalam kasus najis dari anjing atau babi, yaitu tujuh kali dan salah satunya dengan tanah atau sabun.
Pendapat Hanbali yang lain menyatakan bahwa tak ada batasan jumlahnya. Pandangan terakhir ini juga merupakan opsi yang berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i dan Hanafi. Jadi, jumlah penyuciannya tak perlu dipatok. Batasannnya, selama najis hilang maka sudah dianggap cukup.