Oleh: Mohammad Akbar
Dari Harvard, al-Faruqi kemudian kembali ke Indiana University. Di universitas inilah ia meraih gelar doktor (PhD) di bidang filsafat pada September 1952.
Dari rekam jejak studinya ini dapat dipahami bila al-Faruqi memiliki pemahaman yang sangat mendalam mengenai filsafat klasik dan perkembangan pemikiran tradisional di Barat.
Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di AS, al-Faruqi kemudian mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, selama empat tahun. Tamat dari Al-Azhar, al-Faruqi kembali ke AS. Saat itulah, ia mulai terlihat sebagai cendekiawan Muslim yang cemerlang.
Tiga sumbu tauhid
Kala itu, Al-Faruqi sangat prihatin terhadap kondisi umat Islam yang tenggelam dalam sistem pendidikan Barat.
Karena itu, ia berpikir, tak ada cara lain untuk membangkitkan Islam kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini, dan keilmuan Barat, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan lil alamin, melalui apa yang ia sebut Islamisasi ilmu.
Untuk melakukan Islamisasi ilmu itu, menurut al-Faruqi, diperlukan tiga sumbu tauhid (kesatuan). Pertama, adalah kesatuan pengetahuan. Berdasarkan sumbu yang pertama ini, tak ada lagi pernyataan bahwa beberapa ilmu bersifat aqli (rasional) dan ilmu lainnya bersifat naqli (tidak rasional).
Kedua, yakni kesatuan hidup. Di sini berarti, semua disiplin ilmu harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian, tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedangkan disiplin-disiplin yang lainnya bebas nilai atau netral.
Ketiga, kesatuan sejarah. Ini artinya segala disiplin ilmu akan menerima sifat yang umatis dan kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan umat di dalam sejarah.
Dengan demikian, tak ada lagi pembagian ilmu ke dalam ilmu-ilmu yang bersifat individual dan ilmu-ilmu yang bersifat sosial. Dengan demikian, semua disiplin bersifat humanistis dan umatis.
Dalam kaitannya dengan Islamisasi ilmu, al-Faruqi berpendapat, setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepada-Nya. Ini berbeda dengan prinsip keilmuan Barat, yang memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologi dan agama.
Gagasan-gagasan cemerlang untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu tersebut, ia tuangkan dalam banyak tulisan, baik dalam bentuk artikel di majalah maupun jurnal, juga dalam bentuk buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari 100 artikel telah dipublikasikan.