Senin 24 Feb 2014 14:03 WIB

Terpujinya Menahan Marah

Menahan marah/ilustrasi
Foto: wannabemagazine.com
Menahan marah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hannan Putra

Marah merupakan sebuah fitrah bagi manusia. Tapi, mengendalikan marah adalah sikap manusia bijaksana. Seorang yang marah akan menutup ruang berpikir. Hatinya pun akan tertutup dari kebenaran.

Orang yang tengah marah tidak akan pernah tenang dan akhirnya membuat keputusan yang gegabah. Akhirnya, marah hanya akan menyisakan penyesalan.

Seorang yang marah juga akan mematikan sel-sel baik dalam tubuhnya. Inilah yang menyebabkan marah menjadi sumber penyakit. Tak heran, jika ada pemeo masyarakat yang mengatakan, Orang pemarah akan cepat tua.

Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, seorang sahabat pernah meminta nasihat kepada Rasulullah SAW. “Berilah saya nasihat wahai Rasulullah,” ujarnya.

La taghdab (jangan engkau marah),” jawab Rasulullah singkat. Lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya, tapi jawaban Rasulullah tetap saja sama baginya. (HR Bukhari).

Seperti dikisahkan dari Syahid Muthahari dalam Bist Guftar, laki-laki ini pun kembali ke kabilahnya. Secara kebetulan, baru saja ia sampai di kabilahnya, ia dihadapkan pada sebuah situasi kabilahnya akan menggelar perperangan dengan kabilah lain.

Awalnya, ia sempat tersulut emosi karena fanatik kepada kabilahnya. Laki-laki ini pun bertekad untuk ikut bertempur karena ingin membela sukunya.

Tatkala semua perlengkapan perang siap, ia kembali teringat pesan Rasulullah SAW. Ia pun surut dari barisan perang tersebut dan meredam kembali amarahnya.

Ketika ia sudah mulai stabil, pintu hatinya terbuka. Ia bisa berpikir lebih jernih dan menilai permasalahan dengan baik. Akhirnya, ia mencoba untuk mengklarifikasi masalah tersebut dari kedua kubu yang akan berperang.

Akhirnya, solusi pun tercapai. Kedua kubu sepakat untuk berdamai dan terelakkan dari perperangan yang akan merenggut ratusan nyawa itu.

Begitulah seorang yang bijaksana dapat memadamkan kemarahannya dengan nurani dan akal sehat. Ibarat air yang sejuk memadamkan api yang tengah berkobar.

Imam Nawawi mengatakan, makna dari La taghdab dalam hadis Rasulullah SAW tersebut adalah jangan sampai seseorang menumpahkan kemarahan, sehingga membutakan hatinya. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu sendiri.

Jadi, ketika seorang ingin marah, ketika itulah ia bisa menguasai dirinya. Sehingga, rasa marah tidak memengaruhinya untuk bisa berpikir, berucap, dan mengambil keputusan dengan baik dan hati yang jernih.

Seorang yang diselimuti rasa marah hendaklah menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum bertindak atau berucap.

Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring."

Dalam hadis lain juga dikatakan, dianjurkan bagi seorang yang diliputi amarah untuk berwudhu. Alasannya, rasa marah itu datangnya dari setan, sementara setan diciptakan dari api. Jadi, air yang bisa memadamkan api.

Perlu diingat oleh seorang yang diliputi amarah bahwa marah menjadi senjata ampuh bagi setan untuk membinasakannya. Seorang yang diliputi marah akan dengan mudah dikendalikan oleh setan.

Seorang yang marah bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, menghina, mencaci-maki, hingga kalimat talak yang mengakhiri rumah tangganya.

Karena marah pula, ia merusak semua yang ada di sekitarnya. Ia bisa membanting piring, melempar gelas, memukul, bahkan sampai pada tindak pembunuhan.

Di saat itulah, misi setan untuk merusak manusia tercapai. Untuk itulah, seorang yang marah dianjurkan banyak membaca kalimat ta’awuz a'udzubillahi minasy syaithanirrajiim.

Sebagaimana hadis dari Sulaiman bin Surd yang menceritakan, "Suatu hari saya duduk bersama Nabi SAW. Ketika itu, ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya, wajahnya telah merah karena diliputi marah. Melihat hal itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini maka marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awuz a’udzu billahi minas syaithanir rajiim. marahnya akan hilang.’" (HR Bukhari dan Muslim).

Kabar gembira

Rasulullah bersabda, “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki.'' (HR Abu Daud, Tirmizi, dihasankan oleh al-Albani).

Siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil Allah SWT di hadapan semua makhluk pada hari kiamat untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan jin menyaksikan orang ini maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang besar dari Allah SWT.

Betapa besar ganjaran yang diberikan Allah SWT di akhirat nanti hanya dengan menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya.

Apalagi, seseorang yang tidak hanya sanggup menahan amarahnya, tetapi juga bisa memaafkan kesalahan orang yang sudah zalim kepadanya serta membalasnya dengan kebaikan pula.

Mula Ali Qori dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi mengatakan, pujian yang indah dalam hadis tersebut merupakan balasan yang besar hanya karena sebatas menahan emosi. Bagaimana jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya dengan kebaikan.

Jadi, ketika seorang Muslim hendak marah, ingatlah dengan fadilah (keutamaan) yang disampaikan Rasulullah SAW dalam hadisnya tersebut. Betapa besar ganjaran bagi seorang yang berhasil menahan marah.

Hal ini memang cukup sulit. Umumnya, seorang yang marah diliputi emosi yang menutup akalnya untuk berpikir. Sehingga, seorang yang marah lupa dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW untuk mengendalikan amarahnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement