REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kehutanan mengusulkan kenaikan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pinjam pakai kawasan hutan. Tarif yang berlaku saat ini dinilai tidak sesuai melihat dari inflasi dan dampak kerusakan lingkungan.
Berdasarkan rekomendasi dari BPK RI, kenaikan tertinggi pada kategori L3, yaitu area penggunaan kawasan hutan yang mengalami kerusakan permanen pada bagian tertentu setelah dilakukan reklamasi teteapi tidak dapat dilakukan secara optimal.
Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, Bambang Soepijanto mencontohkan, untuk pertambangan tarif akan dinaikkan sebesar 33,33 persen untuk kegiatan yang berada pada kawasan hutan lindung. Sebelumnya tarif yang dikenakan sebesar Rp 3 juta per hektare per tahun. "Jadi nanti tarifnya sekitar Rp 4 juta per ha per tahun," katanya kemarin.
Kenaikan tarif juga akan diterapkan untuk area pertambangan yang ada di hutan produksi. Saat ini tarifnya sebesar Rp 2,4 juta per ha per tahun. Nantinya tarif di area ini akan naik sebesar 45,83 persen menjadi Rp 3,5 juta per ha per tahun.
Area lain yang juga mengalami kenaikan tarif yaitu areal penyangga. Sebelumnya areal ini tidak dikenai kewajiban pembayaran PNBP. Nantinya, area ini akan dikenakan tarif sebesar Rp 2 juta per ha per tahun jika berada di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi.
Akibat kerusakan lingkungan, nilai instrinsik Sumber Daya Hutan (SDH) yang hilang mencapai sekitar 85 juta per ha per tahun. Tanpa langkah pembenahan dikahawatirkan kerugian yang ditimbulkan menjadi lebih besar lagi.
Tahun ini Kemenhut menargetkan PNBP kehutanan dari penggunaan kawasan hutan sebesar Rp 640,3 miliar. Tahun lalu realisasi PNBP kehutanan dari penggunaan kawasan hutan mencapai Rp 587,96 miliar atau lebih besar dari target sebesar Rp 495,16 miliar.
Bambang menegasakan akan menjalankan hilirisasi sektor pertambangan melalui pengembangan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri. Sesuai amanat Pasal 170 UU No.4/2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Mineral dan Batubara, paling lambat mulai 12 Januari 2014 pemegang IUP OP dan Kontrak Karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. "Pengembangan industri smeletr penting karena penerimaan negara tinggi di sektor ini, juga untuk membuka kesempatan kerja yang lebih besar," katanya.