Oleh: Nashih Nashrullah
Naimah adalah potret kunci di balik kesuksesan seorang suami.
Langkah Naimah Khatab terhenti kala sipir sebuah penjara di sudut Kota Kairo hendak memeriksanya. Kunjungan perempuan paruh baya itu kali ini adalah menjenguk suami, Syekh Hasan al-Hudhaimi, yang dikebiri haknya dan dijebloskan ke bui oleh penguasa lalim Mesir, Jamal Abdel Nashir.
Naimah yang dikenal tegas dan berani itu menolak untuk diperiksa. Ia berdalih, tak ada hal mencurigakan yang ia bawa ke dalam penjara selain makanan dan sejumlah lapis baju. Tanpa segan-segan, Naimah menegur sang sipir.
“Tempat kalian seharusnya di medan perang dan mengusir musuh agar hengkang dari Mesir, bukan malah menggeledah roti ataupun kentang yang aku bawa.” Sipir pun terdiam malu. “Anda betul Nyonya,”celetuk sang sipir sembari meninggalkan Naimah.
Kisah tentang ketegaran Naimah sebagai istri sekaligus seorang ibu tersiar seantero Mesir. Cerita tentang pengabdian dan kesabarannya sebagai pendamping Syekh Hasan, aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) pada era 1940-an, itu tetap di kenang lintas generasi. Karakternya tersebut terbentuk sejak lahir. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang agamis.
Ayahandanya, Syekh Muhammad Khatab, adalah salah seorang ulama al-Azhar yang tersohor saat itu. Didikan sang ayah sangatlah membekas. Dedikasi Syekh Muhammad untuk anak perempuannya itu merupakan inspirasi utama.
Pendidikan yang ia warisi dari ayahnya ialah modal penting selama ia mendampingi suami tercinta. Keteladanan itu pun dinukilkan oleh kelima anaknya, yaitu Muhammad al-Ma’mun, Isma’il, Khalidah, Saad, dan Aliyah.
“Ibu saya contoh etika dan moralitas,” sebut al-Ma’mun. Anak sulung itu bertutur bahwa ayahnya sangat mencintai ibunya. Ia dan saudaranya selalu diperintahkan agar tunduk dan menghormati ibunya itu.
Sejak suami dipercaya sebagai pemimpin tertinggi IM pascaterbunuhnya Hasan al-Banna, ia mendedikasikan hidupnya untuk dakwah. Ia turut berkonstribusi secara materi untuk membeli gedung Kantor Pusat IM di el-Helmi el-Jadid pada 1944.
Bahkan, ia sempat menjenguk para mujahid di Palestina, saat Perang Arab-Israel meletus. Pendampingan juga dilakukannya terhadap istri dan keluarga anggota IM ataupun aktivis dakwah yang ditawan oleh sang presiden.
Naimah bukanlah figur yang aji mumpung. Di tengah-tengah popularitas dan posisi yang diemban sang suami, ia tetap tawadhu dan menjaga maruah. Dunia tak menyilaukan mata hatinya.