Oleh: Nashih Nashrullah
Kamar mandi umum atau hammam dalam sejarah peradaban Islam pada abad pertengahan, memiliki fungsi vital.
Elizabet Williams, dalam History of Hammams, menulis kamar mandi tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemandian, tetapi juga memasyarakatkan hidup sehat dan higienis.
Sebagian masyarakat kala itu, juga menggunakan kamar mandi sebagai lokasi pertemuan untuk bersosialisasi.
Di kawasan Mediterania, kamar mandi umum memiliki akar sejarah yang kuat dengan teknologi dan konsep yang cukup brilian. Pengaruh Romawi cukup mewarnai arsitektur pemandian tersebut. Ini tak terlepas dari dominasi Romawi kala itu dari Eropa, Afrika Utara, hingga Mediterania Timur.
Konsep pemandian tersebut terdiri atas ruang penerima tamu. Ruangan yang disebut pula apodyterium itu mengantarkan pengunjung ke sejumlah ruang utama, yaitu air panas (caldarium), air hangat (tepidarium), dan air dingin (frigidarium).
Seiring dengan lemahnya pengaruh Romawi di Barat, corak Bizantium kemudian menjadi rujukan dalam desainnya, terutama dari aspek dekorasi yang tampak pada pola lantai yang dibangun.
Pada periode Dinasti Umayyah (661-750 M), para khalifah membangun pemandian pribadi di istana megah mereka dengan konsep dan desain yang istimewa. Bukan hanya ukuran ruangan yang besar, melainkan juga pola dekorasi yang unik dengan warna-warnai lantai dan hiasan pernak-pernik yang menawan, seperti yang terlihat dari Istana Amra di Yordania.
Hilal al-Sabi mencatat, pada abad pertengahan pemandian umum menjadi bagian penting dalam komunitas masyarakat dan sebagian besarnya dibangun dengan kualitas yang sedemikian rupa.
Sejumlah sejarawan mendeskripsikan letak pemandian itu berdampingan dengan sekolah, taman, dan masjid dengan tata letak yang sangat apik.
Di Baghdad, ketika itu terdapat 60 ribu pemandian umum. Gaya dan dekorasi tersebut juga tetap dipertahankan pada masa kepemimpinan Ottoman, dengan sejumlah inovasi dan teknologi pendukung.