Kamis 27 Feb 2014 16:20 WIB

Bos Maspion Gugat UU Ketenagakerjaan ke MK

Upah Minimum Regional (ilustrasi).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Upah Minimum Regional (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bos Maspion Alim Markus yang bertindak sebagai Dewan Pengurus Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur menggugat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait penentuan upah minimum di Mahkamah Konstitusi.

"Sebelumnya, upah minimum ditentukan oleh Kementerian Tenaga Kerja, tetapi setelah adanya desentralisasi, maka upah ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota yang akhirnya didemo tiap tahun dan upah naik terus," katanya saat sidang di MK Jakarta, Kamis (27/2).

Bagi pimpinan perusahaan peralatan rumah tangga itu, upah yang terus naik dan demo yang sering terjadi telah memperberat para pengusaha.

Senada dengan itu, Sekretaris DPP Apindo Jawa Timur Haryanto mengatakan pemohon menguji Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang berpotensi merugikan hak-hak konstitusinal pemohon. Pasal 88 ayat (4) berbunyi "Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi".

Pasal 89 ayat (3) berbunyi "Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Provinsi dan/atau Bupati/Wali Kota".

Menurut Haryanto, kerugian konstitusional yang dimaksud adalah hilangnya hak dan kewenangan Pemohon untuk mengelola pengupahan di perusahaan, tidak adanya efisiensi yang berkeadilan, serta menghentikan kelanjutan usaha atau perusahaan Pemohon. Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan bahwa materi muatan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a sebagai jaring pengaman".

"Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekautan hukum mengikat, karena dimaknai bahwa "Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh gubernur harus berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Wali Kota," kata Haryanto.

Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan itu dipimpin oleh Anwar Usman sebagai ketua panel didampingi Patrialis Akbar, dan Harjono sebagai anggota.

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Anwar Usman bahwa putusan MK itu sifat "erga omnes" (menyeluruh), jadi tidak hanya untuk Apindo Jawa Timur, tapi seluruh Indonesia. "Jadi, pemohon juga sebaiknya mencantumkan Apindo pusat atau Apindo Jawa Timur juga berwenang melakukan permohonan, itu sebaiknya disebutkan," kata Anwar.

Hakim konstitusi ini juga menyebut adanya pencantuman Peraturan Gubernur Jawa Timur dalam permohonan ini merupakan hal yang bukan wewenang MK. "Kalau permasalahan pergub tidak di sini, tetapi uji materi di Mahkamah Agung," katanya.

Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar meminta permohonan ini menjelaskan sebab akibat kerugian pemohon terhadap berlakunya UU ini. "Atau menyatakan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian ini tidak akan terjadi lagi," saran Patrialis.

Patrialis juga mengungkapkan bahwa permohonan ini belum bisa menguraikan pertentangan antara Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan Pasal 33 UUD 1945. "Ini harus diyakinkan, jangan hanya dikutip pasalnya saja, tetapi diuraikan pertentangannya," kata Patrialis. Majelis panel memberi kesempatan 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement