Sabtu 01 Mar 2014 13:19 WIB

Hilang di Atas Sajadah (1)

Ilustrasi
Foto: Reuters/Carlos Jasso
Ilustrasi

leh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Di tengah suasana keheningan malam, saat para hamba sedang larut dengan mimpinya masing-masing, alam pun menjadi sunyi, sesekali terdengar nyanyian halus serangga malam.

Di atas sajadah tua, duduklah seorang hamba yang menyimpan rindu akut terhadap Sang Kekasih, Allah SWT.

Ia seperti tidak mempedulikan diri dan lingkungan sekitarnya karena asyik bermesraan dengan Tuhannya. Semakin larut malam, kian khidmat baginya. Sehingga, terasa Tuhan Sang Kekasih begitu dekat dan bertambah dekat lagi (tsumma dana fa tadalla).

Ia selalu memusatkan diri tertuju hanya kepada Allah. Ia tafakur dan tadzakur di setiap malam hari. Ia betul-betul merasakan semakin larut semakin nikmat dan syahdu. Ia tidak kuat menahan tangis kerinduannya terhadap Sang Kekasih yang setiap saat dirindukan.

Begitu dalam cinta dan sayangnya terhadap Kekasihnya, terkadang berjam-jam di dalam sujud. Ia enggan bangkit karena merasakan antara yang sujud dan objek sujud menyatu bagaikan sepasang pengantin baru.

Ia tidak mau berpisah dan lepas dari dekapan masing-masing. Bahkan, sering kali terjadi si pencinta merasa hilang di atas sajadah. Ia merasakan dirinya seperti menguap entah ke mana.

Ia sadar betul bahwa dirinya sudah tidak ada lagi, yang tertinggal hanyalah selembar sajadah kosong. Bukan hanya dirinya yang dirasakan hilang tetapi seluruh alam sekitarnya pun ikut hilang. Setelah segalanya hilang maka yang tinggal hanya Allah.

Pengalaman mistis seperti ini dalam dunia tasawuf disebut dengan fana' dan baqa'. Fana' ialah ketika seseorang merasakan dirinya hilang entah ke mana. Biasanya sebelum hilang atau lenyap maka terlebih dahulu muncul suasana “penghancuran diri”, yaitu penghancuran segala hasil pikiran dan berbagai target yang menjadi tujuan dalam kehidupan kita.

Ia rela menerima apa pun adanya dirinya. Termasuk seandainya Tuhan menolak dirinya lantas dimasukkan ke neraka.

Ia bisa pasrah apa pun yang akan terjadi pada dirinya karena ia yakin semua keputusan Allah SWT pasti benar dan baik. Jika Allah akan memasukkan dirinya ke dalam neraka ia pun pasrah karena ia sadar kalau pernah menjadi malang melintang bergerak di dalam kehidupan malam dengan segala konotasi negatifnya.

Namun, ia masih tetap yakin dan berharap bahwa sesungguhnya Tuhan lebih dominan sebagai Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang ketimbang sebagai Tuhan Mahakasar dan Pendendam.

Jika penghancuran diri sudah terjadi maka proses berikutnya yang bersangkutan akan merasa hilang secara total (al-fana' 'an al-nafs). Alam sekitarnya pun ikut hilang. Yang ada betul-betul Allah semata, yang lainnya sudah tersedot ke dalam diri Yang Mahabesar. Pengalaman batin seperti inilah yang disebut fana' (disappear, annihilate).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement