REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- RUU Produk Halal harus mengatur pola penerapan yang bijak. Ketentuan dari sertifikasi tersebut bisa bersifat wajib atau sukarela, bergantung pada objek dan wilayahnya.
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, objek yang harus diwajibkan memiliki sertifikasi halal seperti rumah makan waralaba dan restoran di hotel. Sedangkan, untuk wilayah, aturan wajib ditentukan bagi daerah mayoritas non-Muslim.
"Seperti di Bali, banyak wisatawan lokal yang mereka seorang Muslim dan butuh kepastian halal atas produk makanan yang mereka konsumsi," kata Tulus saat dihubungi Republika, Sabtu (1/3).
Dia menambahkan, kalau aturan halal bersifat wajib bagi seluruh objek dan wilayah, maka dapat menimbulkan kontraproduktif terhadap dunia usaha dan perekonomian. Misalnya, usaha rumah makan seperti masakan Padang dan warung Tegal, tentu sudah memiliki unsur halal.
Apalagi, banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus rekomendasi tersebut. Dia menyatakan, dibutuhkan biaya hingga Rp 5 juta untuk memperoleh sertifikasi halal MUI. Kalau pun harus bersifat wajib, harusnya itu menjadi tanggungan negara.
"Kalau restoran luar yang ada di Indonesia, mereka wajib pakai sertifikasi halal. Tapi kalau rumah makan pinggir jalan, secara logika, mereka sudah terjamin komposisi bahan makanannya," kata Tulus.