REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Husnaini
Setelah melewati penantian panjang, kesepakatan itu akhirnya tercapai. Pada Maret 628 M, kaum kafir Makkah mengirim Suhail bin Amr untuk menyepakati butir-butir kesepakatan dalam Perjanjian Hudaibiah.
Rasulullah SAW langsung menyuruh Ali bin Abu Thalib untuk menuliskan setiap butir kesepakatan yang telah disetujui bersama. Ali memulai butir kesepakatan dengan Bismillahirrahmanirrahim.
Suhail yang ditemani dua warga sesukunya, Mikraz dan Huwaithib, tiba-tiba menyela. “Tentang ar-Rahman ini, sungguh kami tidak mengenalnya,” sergahnya ketus. “Jadi, tuliskan saja Bismika Allahumma, seperti orang-orang biasa menyebut!”
Terang saja Ali dan para sahabat lain protes. “Demi Allah, kami tidak akan mau menulis selain Bismillahirrahmanirrahim,” kata Ali tegas. Tetapi, Rasulullah SAW berpikir cepat, tidak tampak terpancing komentar siapa pun. “Tuliskan Bismika Allahumma,” ujar beliau lembut.
Ali tidak berani menolak meski hatinya mendebat. Rasulullah SAW kemudian mendiktekan kalimat berikutnya, “Ini adalah pernyataan kesepakatan gencatan sejata antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.”
Kembali Suhail berulah menyebalkan. “Jika kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak menghalangimu mengunjungi Rumah Suci dan tidak akan memerangimu.” Belum reda kegeraman Ali dan para sahabat, dengan angkuh Suhail meneruskan kalimatnya, “Tulis saja Muhammad putra Abdullah.”
“Aku telah menuliskan kata Rasulullah,” kata Ali tegas. Suhail meradang. Rasulullah SAW lagi-lagi meminta Ali untuk menghapus kata Rasulullah itu. Kali ini Ali menggeleng. Hatinya perih. Tetapi, Rasulullah SAW meminta Ali menunjukkan mana di antara sederet kalimat yang berbunyi Rasulullah.
Ali menunjuk dengan jarinya. Beliau segera menghapus kata Rasulullah dan menggantinya dengan kata Putra Abdullah. Sungguh luar biasa akhlak Rasulullah SAW. Beliau benar-benar pemimpin hebat yang tidak gila hormat. Rasulullah diakui dunia sebagai pribadi paripurna di segala segi kehidupan.
Anak berbakti, pemuda tangguh, pebisnis sukses, orang tua bijak, pemimpin adil, penguasa bersahaja, pendidik sejati, orator ulung, panglima kondang, suami penyayang, dan seterusnya. Kendati demikian, beliau manusia yang sepi dari pamrih.
Sekarang, justru tidak sedikit di antara kita yang sangat gila hormat. Manusia modern begitu gemar memoles diri agar dapat merengkuh pujian dan sanjungan dari siapa saja. Memang ini tidak salah. Tetapi, jika sampai melampaui batas wajar, tentu lain ceritanya.
Kerap kita temukan orang yang ketika berbicara selalu mengaitkan dirinya dengan nama-nama besar. Ingin menegaskan dirinya memiliki hubungan dekat dengan orang-orang hebat itu. Padahal, sebenarnya sosok-sosok markotop yang dicatutnya sama sekali tidak mengenal dirinya.
Perhatikan pula foto-foto orang yang dipampang di media jejaring sosial, semacam Facebook, Instagram, Twitter, dan semisalnya. Tidak sedikit yang begitu gemar pamer gambar-gambar dirinya bersama para tokoh.
Seolah hendak bilang dirinya akrab dengan pribadi-pribadi ternama itu. Padahal, boleh jadi dia hanya kebetulan nimbrung dalam suatu acara dan berkesempatan berfoto ria bersama tokoh bersangkutan.
Lucunya, ada orang yang menggelari dirinya sendiri dengan gelar ustaz atau kiai. Tadinya, istilah kiai merupakan sebutan untuk sebuah benda atau hewan bertuah.
Misalnya, tombak Kiai Plered dan kerbau Kiai Slamet dari Keraton Surakarta, gamelan Kiai Sekati dari Solo, serta bendera Kiai Tunggul Wulung, dan gajah Kiai Rebo dan Kiai Wage dari Yogyakarta.
Umumnya, orang disebut kiai karena kemurnian ibadahnya, kehalusan budinya, kemantapan ilmunya, keluhuran pribadinya, kesantunan tutur ucapannya, keikhlasan pengabdiannya, kebesaran perjuangannya, kegigihan dakwahnya, dan seterusnya. Yang menggelari demikian tentunya masyarakat.
Bila mengacu Alquran, istilah kiai barangkali sama dengan ulama (QS Fathir [35]: 28). Jika demikian, berarti gelar mulia itu sesungguhnya datang dari Allah.
Alangkah narsis dan tidak tahu malunya jika kita menokohkan diri sendiri sebagai kiai, susuhunan, sinuwun, ki ageng, penghulu, sedangkan masyarakat sama sekali tidak menganggap demikian.
Ada yang lebih mengerikan. Seperti, orang marah-marah karena sepulang dari haji, tidak dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah. Padahal, haji adalah ibadah dalam rukun Islam, seperti shalat, zakat, puasa.
Entah sejak kapan orang beribadah haji lantas dipasang gelar Haji atau Hajjah di depan namanya. Padahal, tidak ada orang yang dipanggil Pak Shalat, Bu Zakat, Mas Puasa.
Mengapa hanya ibadah haji yang melekat pada nama orang? Mungkinkah karena ibadah itu membutuhkan biaya banyak sehingga harus ada simbol sosial tertentu yang melekat pada nama pelakunya? Penggila hormat memang selalu ingin lekas terkenal. Tidak peduli meski harus dengan cara-cara instan.
Karena itu, mereka umumnya membaca sedikit berbicara banyak, mengkaji sedikit berkomentar banyak, menulis sedikit mencela banyak, mengamati sedikit mengkritik banyak, memahami sedikit menyalahkan banyak, dan beribadah sedikit meminta banyak.
Ingatlah sebuah hadis hasan yang dibawakan Tirmidzi. Rasulullah bersabda, “Barang siapa merasa senang orang-orang berdiri untuk menyambutnya, hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” Sepatutnya hadis di atas kita jadikan bahan perenungan.